Ratih yakin ia telah menemukan jodohnya, Semara, pria baik dan mapan. Orang tuanya gembira bukan kepalang. Upacara pernikahan sudah dibicarakan, ditemuilah seorang pendeta untuk menemukan hari paling baik. Babi-babi, ayam kampung dan ayam broiler pun dipesan. Buah-buahan impor berwarna cerah diperlukan untuk sarana upacara, lebih cantik untuk dipajang tentunya. Kerabat dan tetangga akan dikerahkan untuk memasak dan membuat kue. Foto-foto pre-wedding untuk buku undangan dibuat, perusahaan disain penghias ruang dan gerbang pun sudah ditelpon. Namun pada hari peminangan, Semara dan keluarganya tak datang. Tidak hari itu, tidak untuk selamanya.
Ratih terpuruk, keluarganya menderita malu luar biasa, tetangga berkhasak-khusuk, dan seluruh desa bergosip. Seperti kebakaran besar, asap pun terlihat dari seluruh tempat. Kabar penuh kengerian sampai ke telinga Ratih sehari kemudian. Dikatakan, Semara menghentikan rencana pernikahan mereka karena rumor beredar bahwa orang tua Ratih memiliki ilmu leak.
Ia dan ibunya Sumaini, berpelukan dan menangis sepanjang waktu. Ratih memang sedih luar biasa, namun ia tak bisa membayangkan penderitaan yang dialami ibunya dengan fitnah keji tentang ilmu hitam itu.
“Antar nenek ke rumahnya, sekarang!” seseorang masuk ke ruangan, ia bernama Ni Wayan Ratna. Ratih yang sedang duduk berpegangan tangan dengan ibunya di depan tv sampai terhentak. Sudah lama mereka tak melihat si nenek keluar kamar. Wanita itu menghabiskan sebagian waktunya di dalam dua tahun belakangan, makan dan tidur sambil menunggu mati, begitu katanya suatu saat. Beliau bahkan tak mau repot-repot keluar berdandan untuk sembahyang Galungan, hari raya yang enam bulan sekali.
“Aku tak bisa berdiri diam, Aku tak mau mati dulu melihat keluarga ini dilecehkan. Cucu perawan-ku satu-satunya, sungguh malang nasibmu,” jerit Ni Wayan Ratna.
Ratih bersedia mengantar nenek-nya ke rumah Semara, dengan syarat ia akan menunggu di dalam warung tiga ratus meter jauhnya. Ia tak sudi bertatap muka dengan pria itu atau keluarganya. Ni Wayan Ratna setuju, beliau sudah menyiapkan apa yang perlu diucapkan kepada keluarga itu.
Wanita itu sampai di depan gerbang rumah keluarga Semara, berdiri tegak dengan dagu terangkat. Digedornya gerbang dari besi bercat hijau yang lebih tinggi dari tubuhnya, sekeras yang ia bisa. Tuan rumah bergegas membuka pintu rumah mendengar kehebohan itu. Ia melangkah keluar menuju halaman dengan cepat-cepat dan menggeser kunci pintu gerbang. Wanita itu mendapati wajah dengan ekspresi murka tak terkira.
“Apakah kamu Putu Reni ibunya Semara?” Kata Ni Wayan Ratna, hampir berteriak. Beliau membusungkan dada, marah sampai ke ubun-ubun. Rasanya seperti ada api berkobar-kobar di atas kepalanya. Hari itu beliau bahkan sampai lupa mengikat rambutnya yang seratus persen uban.
Putu Reni mengangguk ngeri. Ia belum sempat mengucapkan sepatah kata pun, Wayan Ratna sudah menyemburkan semua unek-uneknya, tanpa henti, tanpa kontrol.
“Dengarkan baik-baik!” Jeritnya dengan jari telunjuk teracung, Putu Reni bisa melihat beberapa tetangga muncul dari dalam rumah mereka, penasaran apa gerangan yang terjadi. “Seperti yang kau lihat, hidupku tinggal sebentar saja, namun penghinaan yang kalian lakukan pada keluarga kami begitu menyakitkan, sampai aku harus bangun dari tempat tidur untuk datang dan menghadapi kalian. Apakah kamu percaya Karma? Oh aku sangat percaya. Belum pernah dalam hidupku menerima fitnah yang sangat keji, Ratih tadinya begitu bersemangat dan menanti-nantikan pernikahan ini, lalu kalian menghancurkan kebahagiannya begitu saja, pernahkan kalian membayangkan deritanya! Kalian tak tahu bagaimana seluruh desa menggosipkan keluarga kami? Tentu kalian tak perduli, kalian hanya keluarga konyol yang percaya pada desas-desus tak berdasar. Dan anakku, Putu Sumaini, ia sangat menyayangi Ratih, ia seorang ibu lemah lembut yang tak bisa menyakiti lalat, lalu kalian menuduhnya memiliki ilmu hitam? Oh kalian belum tahu bagaimana rasanya digerogoti ilmu hitam! Penghinaan ini akan membawa karma buruk pada keluarga kalian, tunggu saja, aku berdiri di sini, atas nama Sang Hyang Prajapati, aku mengutuk kalian menderita selamanya!”
Ibu Semara hendak menutup pintu cepat-cepat setelah syok mendengar semua itu, namun tangan Ni Wayan Ratna dengan sigap meraih dan menahan ujung pintu, cengkeramnya sangat kuat. “Ingat semua kata-kataku ini, kalian akan merasakan kutukanku!”
*
Semara terduduk di kamarnya, sudah dua hari dia tidak bekerja karena merasa tidak enak badan, leher dan badannya pegal, perutnya kembung dan kencingnya terasa panas. Bagian terburuk dari kondisi itu berlangsung di dalam kepalanya, ada perasaan yang mengeruk-ngeruk dan mengetuk-ngetuk di sana.
Ia mengecek ponselnya lagi, membaca puluhan pesan di aplikasi whatsapp yang dikirim Ratih beberapa hari lalu. Semara membacanya berulang kali, namun tak pernah membalasnya, ia tak sanggup, ia tak yakin, ia menimang-nimang, ia sedih luar biasa, ia tak berdaya.
Putu Reni sedang menyiapkan banten caru dan canang sari dengan tergesa-gesa di dapur, kecemasan membuat wajahnya berkerut dan pucat. Suaminya Pan Danu, menonton tv seorang diri sambil memakan keripik pisang, pria itu bahkan tak keluar rumah untuk mengecek kehebohan di luar ketika istrinya menghadapi Neneknya Ratih seorang diri.
Sampai siang, kesunyian tak biasa di dalam rumah itu membuat semuanya kehilangan kata-kata. Sesekali Semara muncul dari dalam kamar untuk pergi ke toilet, melirik ibunya dengan cemas saat melewati dapur dan kembali ke kamar. Ia langsung merebahkan diri dan memeloti layar ponsel.
Putu Reni mandi dan keramas secepatnya, ia mengecek ke luar, menemukan langit yang tertutup mendung, membuat pukul empat sore tampak seperti malam. Ia buru-buru memakai kamben berikut selendang. Ia memercikkan tirta ke kepalanya yang masih basah dan pergi ke halaman untuk melakukan prosesi Mecaru dengan tujuan menetralkan halaman dan mengusir pengaruh negatif. Setelah selesai Ia buru-buru pergi ke bagian belakang, ke merajan (Pura keluarga) untuk bersembahyang. Ia tak ingin berada di luar rumah saat malam hari tiba.
Pukul tujuh malam, Pan Danu menghabiskan makan malamnya sambil menonton tv, Semara sendiri membawa makanannya ke kamar, sementara Putu Reni makan sendirian di dapur. Wanita itu mengunyah nasi dan lauk ayam gorengnya tanpa bernafsu. Banyak hal mengganggu pikirannya, suara Ni Wayan Ratna terngiang-ngiang di kepalanya. Ia jadi tak henti-henti melirik ke jendela yang menghadap halaman, seakan sesuatu sedang mengamatinya.
Setelah makan, wanita itu pergi ke kamar, ia ingin segera tidur supaya pagi datang secepatnya. Malam terasa sungguh menakutkan baginya. Ia menutup korden jendela sambil mengecek ke luar, namun anjing-anjing meraung di luar membuatnya segera naik ke tempat tidur. Sekilas ia yakin melihat sekelebat bayangan lewat di atas pintu gerbang. Sekujur badannya bergetar, keningnya terasa berat saat ia merebahkan diri.
Selama suaminya belum beranjak dari sofa di ruang televisi, Putu Reni berjuang untuk tidur sendirian di kamar, ia menarik selimut sampai menutup kepala, berusaha mengabaikan suara-suara anjing dan keresak ranting pepohonan yang terhembus angin. Lalu jendela kamarnya berkeretak, seakan jari-jemari mengetuk kaca dengan cepat dan berirama.
Putu Reni mengintip dari balik selimutnya perlahan untuk menemukan sosok bayangan dengan kepala besar tampak di jendelanya, bayangan ini terbentuk di korden putih yang setengah transparan dengan cahaya lampu di halaman. Wanita itu membeku di atas tempat tidur, matanya terpaku ke pemandangan itu, tubuhnya kaku, ruangan mendingin drastis. Tiba-tiba saja, dalam beberapa detik, kepala besar itu menembus masuk ke dalam kamar seolah kaca menghilang, wujudnya terbentuk dari asap gelap. Awalnya hanya siluet manusia besar dengan rambut panjang yang menggelenyar. Putu Reni mencoba berteriak, namun tak ada suara apapun yang keluar dari mulutnya. Matanya terpaku pada mahluk itu, yang semakin lama semakin nyata dan melesat mendekat.
Kedua mata mahluk itu terbentuk jelas, besar dan berwarna merah menyala. Ia tak memiliki hidung, hanya lubang besar seperti tengkorak. Dua tangan dengan jari-jemari berkuku panjang menyeribak dari rambut-rambut yang lebat, tubuhnya memendarkan asap, melebar dan menyebar ke seluruh ruangan. Putu Reni masih berupaya menjerit, namun suaranya tersekat di tenggorokan. Wajah besar itu semakin dekat, mulutnya yang lebar terbentuk, menganga penuh taring-taring panjang yang basah oleh darah menghitam. Wanita itu akhirnya berhasil menjerit beberapa detik sebelum tangan berkuku tajam mencengkeram lehernya.
*
Pan Danu, Semara dan beberapa kerabat mengantar Putu Reni ke Balian/dukun keesokan paginya. Wanita itu syok sekali, suhu badannya naik, seluruh bagian tubuhnya pegal seolah ia selesai bekerja membanting tulang semalaman. Semara memerhatikan wajah ibunya yang pucat, lalu ke arah tangan beliau yang gemetar. Putu Reni tak tidur sampai matahari muncul, pengalaman itu membuatnya lebih kurus dalam semalam, tulang pipinya jadi menonjol dan rambutnya kusut tak tersisir. Teriakannya kemarin mengejutkan keluarga besar dan tetangga di dekat rumah. Ia menceritakan kejadian itu dengan terbata-bata dan terhisak. Putu Reni pernah melihat hantu dan jin sebelumnya, namun belum pernah semengerikan ini, dan membuatnya sakit begini.
Salah satu kerabat yang bekerja sebagai perawat menganjurkan Putu Reni untuk dokter, namun ia dan seantero keluarga menolak, menurut mereka semakin cepat ia pergi ke Balian, semakin cepat permasalahan ini berakhir. Dokter, menurut mereka takkan bisa membantu mengobati sakit yang diakibatkan masalah gaib, kasus Putu Reni jelas sekali bukan penyakit normal.
Balian itu bernama Wayan Karna, Ia tinggal di rumah bergaya Bali dengan pekarangan luas, 20 km jauhnya dari rumah Putu Reni. Matahari menyirami pintu gerbangnya yang dihiasi ukiran floral rumit, dan dua patung harimau berwarna kuning keemasan di kanan kiri, mereka didandani kain poleng hitam putih. Di bawah patung-patung itu tergeletak beberapa canang bunga segar dan gelas-gelas plastik kecil berisi cairan kopi, berikut satu potong kue lapis yang sedang digerogoti semut.
Si Balian langsung menyalami para tamu dan mempersilahkan masuk. Ia memakai pakaian serba putih; baju kemeja putih dengan kancing emas, dan penutup kepala yang menyembunyikan delapan puluh persen rambut ubannya. Mereka berbasa-basi sedikit sebelum melakukan sesi pengobatan karena pandangan keluarga pasien yang tak sabar, mengingat betapa mendesaknya kesehatan Putu Reni.
Wanita itu datang mengenakan kain batik dan kaos putih berikut selendang sutra berwarna kuning, duduk bersimpuh dengan lemas. Pan Danu duduk di sebelahnya, diikuti Semara yang sebentar-sebentar mengecek ponsel. Mereka duduk di dalam ruang suci dengan meja besar di pojok timur, tempat pemujaan yang penuh sesak dengan beberapa arca tokoh pewayangan, patung kayu harimau yang sudah kusam, potongan kayu dan ranting yang dibungkus kain putih dan kuning, batu-batu permata, dan keris aneka ukuran. Ada juga beberapa mangkok perak berukir berisi bunga-bunga kamboja, cempaka dan air. Di setiap tembok yang dicat hitam digantung beberapa figura dengan lukisan dewa Siwa bergaya Bali dan India, dihiasai kalung bunga gemitir. Ada juga lukisan tokoh Gajah Mada yang besar berotot dengan figura emas. Wangi asap dupa menguar di seluruh ruangan yang pengap, terutama karena tak ada ventilasi, sementara lampu berwarna merah temaram menerangi seluruh isinya.
Semua orang membisu saat Wayan Karna duduk bersila dengan badan tegap sambil menggumamkan mantra-mantra selama lima belas menit. Ia menjepit setangkai bunga cempaka dengan jempol dan telunjuk tangan kanannya. Badannya bergerak maju mundur, bergetar, sesekali mengambil nafas pendek sebelum melanjutkan mantra. Wayan Karna menyebut-nyebut banyak nama Dewa selama sesi itu, lalu diakhiri dengan menyebut nama lengkap Putu Reni.
Wanita itu memejamkan mata saat Wayan Karna berbalik dan duduk bersila di hadapannya, ditempelkan tangan tangannya yang dihias empat cincin emas batu permata ke jidat si pasien. Semara dan Pan Danu memandangi mereka berdua, ikut berdoa di dalam hati. Saat pria itu menghantamkan telapak tangan ke ubun-ubun Putu Reni, seluruh badan wanita itu gemetar. Lalu ia berteriak seakan tangan si balian panas seperti setrika.
“Hentikan! Hentikan!” Jeritnya, semua orang bergidik, suara Putu Reni tidak seperti biasa, terdengar berat dan serak. Pan Danu memegang tubuh istrinya atas perintah Balian. Wanita itu berguncang-guncang berusaha bangun dari tempat duduknya. Semara membantu bapaknya dengan ragu-ragu dan takut.
“Siapa ini? Dan apa yang kuinginkan?” Tanya Pan Danu. Tangan kanan Wayan Karna masih menempel di jidat wanita itu, lebih kuat dari sebelumnya. Putu Reni berguncang-guncang, berteriak kesakitan. Ia tak henti-henti meminta untuk si balian menghentikan penyiksaan itu.
“Siapa ini?” Kata Pan Danu tidak sabar, kemarahan menguasai kepalanya.
Roh atau apapun yang merasuk di tubuh istrinya tak menjawab, ia hanya menggeliat dan berguncang, berusaha sekuat tenaga untuk bangun dan meninggalkan tempat itu, beberapa kerabat ikut mencengkeramnya.
“Aku akan menghentikan ini kalau kamu pergi dan tak mengganggu wanita ini lagi!” Ucap Wayan Karna, menghantam-hantamkan telapak tangannya ke ubun-ubun Putu Reni tanpa henti.
*
Sudah tiga hari berlalu sejak Ibunya berobat ke Balian, namun beliau masih sakit parah dan harus beristirahat di kamar. Setiap malam wanita itu dibangunkan mimpi-mimpi buruk, membuat Pan Danu ikut bergadang. Sejauh ini mereka masih menolak untuk pergi ke dokter, karena mereka yakin semua ini adalah penyakit dari alam gaib. Wayan Karna memberi mereka sebotol minyak rendaman bunga kamboja, cengkih dan daun lentoro, yang mesti dioles di punggung dan perut Putu Reni tiga kali sehari. Tidak lupa satu ember air laut yang sudah dimantrai untuk dicipratkan ke kamar-kamar, dan sebuah kelapa muda dengan jimat rahasia di dalamnya untuk dikubur di halaman. Tak satupun dari barang-barang itu menunjukkan khasiat.
Sambil memikirkan kondisi ibunya, Semara mengantre pesanan capcay daging babi di sebuah warung di desa tetangga, enam kilometer dari rumahnya, Ia mengetik curhat di grup whatsapp. Banyak sekali teman-temannya menyampaikan keprihatinan, satu dan dua orang bahkan menganjurkan dia untuk berbicara dengan Ratih, supaya situasi tidak terlampau buruk. Namun Semara tak yakin ia bisa melakukan itu, rasa malunya sudah terlalu dalam untuknya untuk memperbaiki keadaan.
Sudah pukul tujuh malam, sisa-sisa cahaya matahari masih menerangi langit, berwarna abu-abu dibalik awan tipis. Diletakkannya dua bungkus capcay babi dan siobak di gantungan motor, lalu menyalakan mesin dan melaju. Semara sudah sangat lapar, dan orang tuanya menunggu di rumah untuk makan malam. Ia juga memesan bubur untuk ibunya.
Dua desa itu dipisahkan sekitar empat kilometer ladang bunga dan persawahan. Beberapa rumah dan ruko yang terbengkalai dibangun di antaranya, dengan lampu jalanan digantung setiap tiga puluh meter. Semara merapatkan jaket dengan satu tangan dan melaju lebih kencang dari sebelumnya. Jalanan ini, meskipun tak jauh, selalu sepi setelah pukul enam sore.
Ketika berbelok di tikungan, ia mendengar suara musik tarian Barong Bangkung di kejauhan, dan sekitar dua ratus meter jauhnyan tampak siluet iringan barong dengan musik sayup-sayup. Barong Bangkung yang berwujud babi hutan biasa diarak keliling desa, ditemani beberapa anak remaja dengan gamelan musik bambu sederhana, ini dilakukan terutama berdekatan pada hari raya Galungan dan Kuningan. Semara melajukan motornya perlahan sambi memerhatikan dengan memicingkan mata. Iringan itu menghilang timbul di kejauhan karena lampu-lampu jalan, namun jelas semakin dekat ke arahnya. Akhirnya Semara menghentikan sepeda motor di tepi jalan karena merasakan sesuatu yang janggal. Satu mobil melaju cepat melewatinya, membuat ia terhentak kaget.
Sosok itu tidak tampak seperti barong lagi sekarang, tak ada anak-anak yang biasa membawakan alat musik di sekitarnya, yang mendekat hanya satu sosok berambut besar kira-kira seratus meter dari Semara. Pria itu bergidik, mulai berpikir untuk berbalik dan lari.
Semara terpaku di tempat, ia mencengkram stang motor dengan kencang saat angin mendadak berhembus kencang, membuat daun-daun dari pepohonan terbang berhambur di jalanan yang diterangi cahaya lampu kuning. Semara merapatkan jaketnya. Sosok itu berjalan perlahan ke arahnya, dengan wujud fisik semakin nyata, hanya dua puluh meter dari tempatnya sekarang, sementara musik tradisional Barong Bangkung tak terdengar lagi. Ia kini bisa melihat wajah tengkorak dengan mulut penuh taring-taring yang panjangnya melewati dagu dan pipi, ada rongga mata kosong dan lubang hidung. Lidah panjang basah menjulur ke lantai, dengan setitik api menggeliat di ujungnya. Rambutnya hitam yang besar dan megar menutup bentuk tubuhnya, berikut api berkobar di ubun-ubun.
*
Sementara Pan Danu melanjutkan ritual menonton sinetron di televisi, Putu Reni bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan dengan tubuh lemas ke luar kamar, ia berusaha memanggil suaminya berkali-kali, namun suara televisi terlalu kencang. Dibukanya laci di dapur untuk mengambil cangkir, ia lalu menyeduh teh dari dispenser. Saat mengambil sendok, ia menemukan seseorang duduk memunggunginya di pojok ruangan, yang sebelumnya tak ia lihat.
“Semara? Kaukah itu? Bisa kau kasih tahu bapakmu untuk mengecilkan suara tivi, dari tadi kupanggil-panggil tidak didengar,” gerutu Putu Reni, ia mengaduk tehnya setelah menuang satu sendok gula. Semara tak menjawab. “Sudah dibeli capcay-nya kah?”
Sosok itu masih tidak menjawab, Putu Reni mengira anak sulungnya sedang ketiduran di kursi, sehingga ia bergerak mendekat untuk membangunkannya. Saat ia menepuk pundak Semara, ia sadar itu bukan anak-nya, melainkan gumpalan kain yang menyerupai tubuh. Kain ini melorot melorot jatuh, sebelum merayap dan menyeberangi lantai menuju balik lemari seperti ular. Wanita itu mundur terhuyung dengan mendekap mulutnya sendiri.
Putu Reni mendengar suara nafas berat di suatu tempat, yang diikuiti sesosok besar gelap muncul dari balik lemari, mahluk ini menutup kepalanya dengan kain hitam besar bertuliskan aksara dan lambang Bali kuno, namun dua buah dada menyembul berjuntai melampaui kain itu, diikuti lindah merah basah di antaranya. Dua tangan kurus berbulu dan berkuku tajam membuncah dan meraih tembok di kanan kiri ruangan, ia bergerak melayang maju dengan cepat, menyeberangi ruangan dan menyambar tubuh Putu Reni, yang terjerembab jatuh dengan punggung membentur lantai.
Pan Danu muncul dengan piring kosong di dapur, ia ternganga menemukan istrinya meronta-ronta sambil berteriak di lantai keramik, dipeluklah tubuh wanita itu dan mengangkatnya menuju kamar.
Pria itu sedang menelepon beberapa sanak saudara ketika bapak bendesa adat datang dengan menggendong Semara. Dia masuk dan mendudukkannya di kursi. “Aku menemukannya tergeletak di jalanan dekat pura Prajapati,” katanya. “Kurasa dia baru saja melihat hal yang menakutkan. Bagaimana keadaan istri bapak?”
“Terimakasih sebelumnya pak Bendesa atas bantuannya membawa Semara kemari.” Katanya, mendekati si anak sulung untuk memeriksa keadaannya. “Istri saya sedang tak sadarkan diri di kamar. Dia juga tadi kutemukan tak berdaya di lantai dapur. Kutukan yang sangat mengerikan sudah menimpa keluarga kami. Apa yang saya harus lakukan Pak Bendesa?”
“Ya, saya mendengar beberapa cerita beredar. Pertama, Saya anjurkan bapak untuk mengajak Istri dan Semara ke rumah sakit segera,” sahut pak Bendesa. “saya akan menemani dan mencoba memeriksa keadaan mereka secara bathin setelah dokter melakukan pemeriksaan fisik.”
Pan Danu mengangguk setuju.
*
Semara sudah sadarkan diri beberapa jam setelah mereka sampai di rumah sakit, ia duduk di kursi dengan segelas susu panas di tangan. Ia memandangi Pak Bendesa Adat yang berdiri di dekat ranjang di mana ibunya rebahan. Pan Danu duduk di kursi deket meja, memerhatikan Pak Bendesa berdoa dengan memegang setangkai dupa, beberapa kali pria yang memakai kemeja putih itu memegang dahi Putu Reni dengan mata terpejam.
“Keadaan ibu sangat rapuh, apa yang saya ungkapkan berikut harap dicermati baik-baik, namun saya sarankan ibu sekeluarga untuk melakukannya segera. Seseorang sangat murka dengan keluarga ibu. Begitu murkanya hingga ia mengirimkan kutukan ini,” Pak bendesa memulai, ia dikenal di desanya sebagai seseorang paranormal, namun tak mau disebut Balian.
“Apa yang harus kami lakukan, bapak bendesa?” Tanya Pan Danu, setelah melihat perubahan ekspresi istrinya.
“Sebelum terlambat, meminta maaf lah ke mereka, ke pada orang yang sudah kalian sakiti hatinya. Tidak perlu ibu sendiri yang menuju ke sana. Berangkatlah dengan niat baik, dan katakan permohonan maaf sungguh-sungguh, maka kutukan ini akan dicabut. Sungguh akan bahaya sekali kalau kutukan ini mengacaukan keluarga ibu dan bapak lebih lama lagi. Ini sudah urusan nyawa.”
Putu Reni terhisak menangis. Pan Danu memandang istrinya lalu mengangguk pada Bapak Bendesa Adat. Semara sendiri menundukkan kepalanya dengan pikiran berkecamuk.
*
Dua hari kemudian, Semara dipanggil ibunya ke kamar setelah tahu keadaan anak sulung itu sudah jauh lebih baik. “Ibu belum sanggup pergi ke rumah Ratih sendiri.” Kata Putu Reni, menggenggam tangan Semara. “Bisakah kamu pergi ke sana untuk menyampaikan permohonan maaf? Dan ibu juga meminta maaf padamu atas semua yang terjadi. Ibu sudah keliru.”
Semara menarik nafas dan mengangguk sedikit, ia berupaya tak melihat langsung ke mata ibunya, namun tidak sanggup. Cukup lama baginya untuk berpikir, sebelum akhirnya mengiyakan permintaan ibunya yang sedang sekarat.
“Baiklah bu, siang ini aku akan ke sana.”
Rumah keluarga Ratih berjarak cukup jauh, Semara menempuh perjalanan selama satu jam menuju ke sana. Pikirannya yang sangat riuh membuat kepalanya pening. Ia menghentikan mobil di tepi jalan, dua ratus meter jauhnya dari rumah yang ia tuju. Ditenggaknya air mineral dari botol seolah ini akan membantunya mengambil keputusan.
Ia keluar dari dalam mobil dan berjalan mondar-mandir di pinggir jalan, di bawah pohon asem. Pria itu memandang hampa ke persawahan yang dipenuhi padi menguning, namun pikirannya tidak di sana, ia masih menimang-nimang. Sesaat saja ia merasa mendapat sedikit keberanian, sebelum keragu-raguan kembali menghinggapi kepalanya.
“Oh Tuhan tolong aku, kumohon beri aku kekuatan!” Bisiknya, menggigit bibir. Sudah satu jam ia berdiri seperti orang tolol di tempat itu sebelum ia melihat Ratih meluncur dengan sepeda motor dari kejauhan, berjalan persis ke arahnya. Semara seketika masuk ke dalam mobil dan menunduk sampai mantan kekasihnya itu lewat.
Ia mulai menangis tak bersuara sebelum meneriaki dirinya sendiri. Ia memukul-mukul setir dan mengutuk-ngutuk, ia tidak percaya bahwa dirinya begitu pengecut. Ia merasa sebagai pria paling pecundang di dunia. Pria yang tak punya pendirian, yang tak bisa memperjuangkan apa yang dia inginkan.
Ponsel yang sedang digenggamnya bergetar, yang hampir ia lempar karena kaget. Ia melihat nama ibunya di layar. Ia tak berani mengangkatnya. Apa yang harus ia katakan sementara ucapan permohonan maaf yang penting ini belum disampaikan?
Ibunya menelpon lagi, sampai tiga kali berturut. Semara mengambil nafas menyerah dan menjawab. “Ya Bu, maaf tadi masih di jalan.”
“Oh Semara, syukurlah kau baik-baik saja. Kupikir sesuatu terjadi. Bagaimana? Sudahkah kamu bertemu dengan keluarga Ratih?”
Pria itu menghela nafas, air matanya mengalir turun ke pipi hingga ke lehernya. “Sudah bu,” katanya hampir berbisik. “Ratih dan keluarganya sudah memaafkan kita.”
***
I.B.G. WIRAGA – 2017