Oris


304-oris

Ada bagian kenangan di masa kecilku yang ingin kuhapus, mereka adalah mimpi buruk yang permanen. Namun ada bagian lain yang hangat dan menakjubkan, akan kusimpan dengan baik.

17 tahun yang lalu aku ingat sedang rebahan di atas rumput, di bawah bayang-bayang pohon bunga matahari, ketika aku sedang menyembunyikan diri dari dunia. Aku sedang hanyut menikmati warna daun-daun dan bunga matahari yang membingkai langit cerah. Kemudian kepala besar muncul mendadak menghalangi pandangan. Ini bibiku, keberadaannya di sini tak kuharapkan.
Wanita itu tersenyum dan menunjukkan ekspresi sedih yang tak meyakinkan. Ia datang untuk memberi kabar bahwa ayahku telah pergi ke surga menaiki kereta ekspres dan takkan pernah kembali.

Dan ibuku telah menaiki kereta api yang sama bahkan sebelum aku berhasil memegang botol susu dengan baik. Ayah tak sempat bercerita apa-apa mengenai ini, beliau berjanji akan menuturkan banyak hal mengenai ibu begitu aku berulang tahun ke sembilan. Namun umurku tak mencapai jumlah itu saat beliau buru-buru berangkat dengan kereta api ekspres tak kasat mata itu.
Hidupku runtuh ketika aku mulai memahami bahwa maut adalah jurang pemisah paling mengerikan yang pernah ada. Umurku delapan tahun waktu itu, tetapi aku ingat detil kesedihan yang kualami, aku ingat linangan air mata tak berkesudahan saat tidur, aku ingat perasaan rindu kepada ayah yang menusuk-nusuk di rongga dada.
Dalam sekejap aku mendapati diri sebagai anak yatim piatu. Kondisi ini sangat buruk bagi anak mana pun di dunia—bahkan bayi gorila akan menderita tanpa ibunya. Dan aku pun tumbuh dengan perkembangan otak mengkhawatirkan bersama bibi di rumah peninggalan orang tuaku.
Nasibku tak seburuk itu tentu saja. Masa kecilku tak kuhabiskan dengan mengamen, menjual koran atau meminta-minta di pinggir jalan, kurasa aku cukup beruntung jika kau melihat dari sudut pandang itu. Ayahku memiliki uang yang cukup untuk membuat siapapun tergerak untuk—berpura-pura—menyayangiku, terutama bibiku yang sinting itu. Dia dan paman mendadak pindah ke rumah kami dengan alasan bahwa ayahku memberi mereka tanggung jawab untuk menjagaku. Aku sama sekali tidak menyukai mereka. Yang benar-benar kuinginkan adalah tinggal bersama nenek.
Dengan uang melimpah peninggalan ayah, bibi mempekerjakan tukang masak untuk keperluan perutku dan menyewa baby sitter untuk menemaniku bermain. Tapi jika kau anak berumur delapan tahun, kau takkan sudi bermain dengan baby sitter, iya kan? Kau perlu teman-teman sebaya untuk diajak bercerita dan bermain. Tapi Bibiku merasa aku tak perlu berteman.
Bagaimanapun aku memiliki sahabat seekor kucing bernama Oris—Itu karena ada nama di kalungnya. Ia memiliki bulu putih bersih dengan lingkaran hitam sempurna di punggungnya. Ia sangat tampan dengan mata besar dan wajahnya yang cuek tak berekspresi.
“Seandainya aku bisa bicara ke ayah untuk terakhir kalinya saja, aku akan minta untuk tinggal dengan nenek, ini sungguh tak adil!” Aku ingat curhat begitu kepada Oris pada suatu siang. Oris memang pendengar yang baik, meski ia bukan tipe teman yang suka berkomentar.
Aku tak pernah tahu Oris milik siapa, ia muncul sehari setelah Ayah dimakamkan. Setiap pagi dia selalu rebahan di atas kakiku yang terbalut selimut untuk mendengarkanku berceloteh. Syukurlah bibiku tak mengetahui ini, ia pasti akan mengamuk jika tahu. Menurutnya kucing adalah hewan malapetaka yang harus dimusnahkan dari muka bumi.
Kalau sekarang aku membayangkan masa itu, kita sama-sama berpikir bahwa otak anak yang jarang bersosialisasi dengan anak-anak lain pastinya menderita gangguan secara psikologis. Aku pernah berbicara pada seekor kucing dengan keyakinan penuh bahwa itu luar biasa normal.
Kesehatanku terutama memburuk sejak tinggal bersama bibi. Mungkin kesedihan yang berlarut-larut penyebabnya, atau entahlah, mungkin yang lain. Semua sakit remeh temeh seperti flu, batuk, demam dan bahkan asthma tidak seberapa dibanding apa yang kuderita dua bulan sebelum aku berumur sembilan tahun, penyakitku itu sungguh aneh dan menyeramkan.
Diawali dengan demam tak berkesudahan, selama berhari-hari. Pamanku mendatangkan dokter tiga kali seminggu untuk memeriksa keadaanku. Pak dokter selalu menganggap aku dalam keadaan sehat, padahal setiap malam aku selalu menderita, seluruh tubuhku sering ngilu dan lemas. Bagaimana bisa dia bilang aku sehat?
Penderitaanku tak berhenti di sana. Malam terakhir itu aku merasakan sesak nafas, pusing dan sakit perut paling mengerikan seumur hidupku. Usus-usus di dalam perutku seperti melilit parah. Aku juga kesulitan bernafas. Rasa sakit itu membuatku berguling-guling di ranjang. Tak ada yang mendengar teriakanku. Aku menangis sesegukan dan memanggil nama ayah dalam keputusasaan.
Aku berharap ayah datang untuk menolongku, tapi yang muncul hanya sepasang mata kuning menyala di luar jendela. Awalnya aku sangat kaget, sebelum kuperhatikan lebih seksama dan menyadari bahwa dia Oris! Kucing itu memandangku tanpa bergerak.
Aku berharap Oris akan masuk dan menghampiriku, namun yang dia lakukan hanya memelototiku dari luar seolah ada ancaman yang mengerikan di dalam kamar.
Beberapa menit kemudian aku ingat saat cahaya biru berpendar melayang-layang di belakang Oris. Cahaya itu melompat melampaui kepalanya dan masuk ke dalam kamar. Ia berbentuk bola seukuran jagung, mengambang pelan dan memendarkan cahaya biru di hadapanku. Benda atau apapun itu menyedot semua suara yang ada, bahkan rintihan ketakutanku. Segalanya menjadi sangat hening.
Meski kesulitan bernafas, aku terbius pada cahaya itu. Rasa sakit di perutku pun berangsur tak terasa lagi. Lalu mendadak sesuatu bergolak di dalam lambungku dan aku merasa amat mual. Dua detik kemudian sesuatu melompat naik dari dalam perut menuju kerongkonganku, lalu kumuntahkan gumpalan cairan ke lantai.
Bentuknya seperti kuning telur dengan urat-urat darah di sekelilingnya. Sejak melihat pemandangan mengerikan itu aku bersumpah takkan memakan telur apapun untuk selamanya.
Detil berikutnya lebih seram lagi. Gumpalan kuning itu bergerak dan membesar! Ia menggeliat, berdenyut dan merayap menyusup ke bawah pintu, meninggalkan jejak cairan putih lengket di lantai. Aku bersandar, keringatku bercucuran. Ini tak mungkin terjadi! Benda itu bersarang di dalam perutku. Itukah yang membuatku sakit?
Oris tiba-tiba saja sudah berdiri di ranjang dan menaikkan dua kaki depannya di atas pahaku. “Apakah kau melakukan itu, Oris?” Aku bertanya padanya, nafasku telah normal. Ada perasaan lega yang luar biasa, seolah sumber penyakitku telah pergi. Dia tak menjawab, tapi melingkarkan tubuhnya di atas pahaku dan tidur. “Kalau kau yang melakukannya, terimakasih banyak.”

Aku berjuang meyakinkan diri bahwa semua yang kualami itu hanyalah mimpi buruk yang gila. Ketika aku melirik ke lantai pagi keesokan harinya, kulihat cairan lengket itu masih di sana. Aku turun dari ranjang dan berjingkat menuju pintu, kubuka dengan hati-hati dan bergerak mengikuti kemana arah jejak itu. Aku melangkah menunduk di sepanjang koridor menuju ruang keluarga. Lalu di tepi tangga jejak itu berhenti. Saat itulah kulihat Bibi berdiri di bawah tangga. Kedua matanya melotot. Wajahnya terlihat lebih jelek dari biasanya, dan lebih menakutkan.
Dia tampak heran melihatku. “Kau kembali ke kamar, sekarang!” bentaknya dengan keji. Aku membalas tatapannya sebentar lalu berbalik dan berlari menuju kamar, air mataku bercucuran.
Aku merindukan ayah lebih dari siapapun pagi itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasa sangat sendiri. Aku hanya bisa menangis dengan memeluk Lily, boneka panda yang dihadiahkan ayah di hari ulang tahunku yang ke delapan.
Aku mengurung diri di kamar sampai pukul sebelas siang, bahkan tak ada yang membawakanku sarapan dan air. Kelaparan dan masih mendekap Lily, aku pun meloncat ke luar melalui jendela dan mencari keberadaan Oris.
Aku duduk bersembunyi di bawah tanaman perdu. Dengan mata basah dan bengkak, aku memeriksa ke semua arah, berharap Oris muncul. Ia tak tampak di manapun. Mungkin dia sedang tiduran di rumah tuannya. Perkiraan ini membuatku cemburu.
Kebun bunga matahari yang membentang di hadapanku membuatku mengingat ayah lagi. Kami sering menghabiskan akhir pekan dengan berkemah di sana. Hari-hari indah yang telah hilang.
“Cecunguk itu tidak ada di kamar! Kemana dia?” Suara bibi yang melengking mengagetkanku. Kemudian dia batuk-batuk keras. Aku meringkuk ketakutan, berharap dia tak melihatku.
“Dia mungkin bersembunyi di kebun,” sahut paman pelan. Mereka berdiri persis di belakangku. Aku bisa melihat kaki-kaki mereka
Bibi batuk lagi, sepertinya dia sedang sakit. “Teluhnya berbalik padaku, ada yang menolong anak itu.”
“Mustahil,” kata paman.
Kemarahanku meledak. Aku segera bangkit dan menghadap mereka. “Apa yang kalian inginkan?” Aku meneriaki mereka, kami hanya dibatasi tanaman perdu. Bibi dan paman mendelik kaget. Bibi seketika melompati semak dan menarik tanganku. Aku berusaha melepaskan diri.
“Lepaskan!” Aku meraung. “Kenapa kalian ingin membunuhku?”
“Diam kau!” teriak bibi, aku menangis meronta-ronta, tangannya mencengkeram lenganku dengan sangat kuat.
Lalu wanita itu menjerit kesakitan. Ia melepaskanku dan melihatnya jatuh berdebam ke tanah.
“Ada kucing menggigitku!” Bibi memegang betisnya yang berdarah. Paman berusaha menolongnya.
Oris sudah ada di dekatku, menggosokkan pipinya di kakiku dan melesat kabur ke arah kebun.
Tak menyia-nyiakan kesempatan, aku berlari mengikutinya.
“Kejar dia!” bibi berteriak.
Aku sampai di tengah kebun setelah lima menit berlari sekuat tenaga. Oris telah menghilang dari pandangan. Pohon-pohon bunga matahari tumbuh rapat dan tinggi. Aku begitu kelelahan, haus dan lapar, tubuhku hampir roboh tak punya tenaga.
Setelah melihat di sekililing, aku lega tak tanda-tanda keberadaan paman. Aku menemukan sepetak tanah yang dikelilingi pohon bunga matahari yg tumbuh rapat dan meringkuk bersembunyi di sana. Tiba-tiba saja Oris sudah diam duduk di sampingku seperti muncul begitu saja di udara. Langsung kupeluk dia. “Terimakasih Oris!”
“Aku ingin menyusul ayah dan ibu saja,” kataku akhirnya, menangis lagi. Dia memandangku dengan mata coklatnya yang besar. Aku berharap kali ini dia merespon dan mengatakan sesuatu untuk menghiburku.
Ia tak memedulikanku, lalu sayup-sayup suara seruling mengalun lembut di kejauhan. “Kau dengar itu, Oris?” tanyaku.
Tapi dia sedang mendongak ke atas, kuikuti arah pendangannya dan kutemukan hal yang paling ganjil. Salah satu tangkai pohon bunga matahari melengkung amat perlahan ke arahku. Alunan musik seruling itu makin jelas, melodinya sedih. Di ujung tangkai, bunga matahari yang besar dan terang menghadap wajahku. Terpikat, aku mengangkat jari untuk menyentuh kelopaknya. Saat itulah kulihat mahluk itu.
Ukurannya luar biasa kecil. Awalnya ia bersembunyi malu-malu di balik kelopak bunga matahari, tapi ia memperlihatkan tubuhnya juga. Kalau aku melihat sekilas, aku akan segera berpikir bahwa itu hanya anak belalang sembah. Tingginya kira-kira 10 sentimeter, memiliki badan langsing berwarna hijau dengan dua kaki panjang dan empat tangan kurus yang penuh lekuk. Mahluk itu memiliki bagian dada yang tampak lebih keras dari anggota tubuh yang lain, bentuknya oval sempurna berwarna putih transparan dengan titik biru terang sebagai inti. Ia memiliki wajah berbentuk jantung berikut dua mata hitam berkilap. Sayapnya yang mirip sayap kumbang berwarna kuning dan berserat.
Meski terlihat rapuh, mahluk itu meloncat dan terbang mantap di udara. Aku begitu terpesona sampai-sampai aku melupakan rasa laparku. Kalau ini bukan mimpi, aku pasti sedang berhalusinasi parah.
Mahluk itu terbang mengitari kepalaku tiga kali, mengamatiku sebentar dengan matanya yang hitam tak berkelopak, dan mendongak ke arah matahari. Lalu dia terbang menjauh.
Oris melompat mengikutinya. Aku pun spontan bangkit dan mengejar mereka.
Ketika aku berlari, rumput-rumput yang kupijak—entah bagaimana—tumbuh meninggi di bawah kakiku. Aku berusaha menghindari daun-daunnya yang mencuat cepat ke udara. Sensasi ini aneh sekali, apa-apa di sekelilingku tampak tumbuh besar dan meninggi; pohon-pohon, semak dan bebatuan.
Segalanya terjadi sangat cepat, langkahku menjadi sangat ringan, satu lompatan saja membuat badanku terlontar jauh ke depan. Ada perubahan gravitasi yang mencengangkan. Ini sungguh pengalaman yang menakjubkan.
Oris masih di depan mengikuti mahluk itu. Aku kini melompat dari satu daun ke daun lain, permukaannya yang kuat dan lembut hanya bergetar sedikit saat kupijak. Entah bagaimana aku melakukannya, semua berlangsung secara otomatis.
Beberapa meter di depanku, Oris sudah memanjat batang pohon bunga matahari. Langkahnya sangat ringan, aku mengikuti jejaknya, sangat mudah.
Tak ada perasaan ngeri sedikitpun, segalanya terlalu ajaib sehingga aku tak sempat memikirkan bagaimana keanehan ini terjadi. Kakiku melangkah mantap di batang pohon dan memanjat naik dengan sedikit tenaga yang kubutuhkan, tak ada beban gravitasi di bawah kakiku.
Oris dan mahluk di depannya melesat cepat. Cahaya matahari yang hangat menerpa tubuhku, dan angin berhembus lembut. Lembaran daun yang kupijak, bergoyang sedikit ketika aku lewat. Aku merasa seperti serangga kecil yang melompat kesana kemari dengan lincah. Aku sama sekali tak takut akan terpeleset dan jatuh. Aku sudah merelakan semua, untuk pertama kalinya aku merasa sangat tenang dan damai.
Mahluk mirip serangga itu akhirnya berhenti di atas lima bunga matahari yang menempel satu sama lain. Formasi itu membentuk bunga raksasa yang menghadap ke langit. Persis di tengahnya berdiri semacam bola krital dengan batu oval biru bercahaya di intinya. Oris berhenti di atas daun yang cukup besar, aku mendarat di daun yang sama dan berpegangan pada tangkai. Kami mengamati mereka dari jauh. Apa yang terjadi berikutnya lebih ajaib lagi.
Bola itu memendarkan cahaya biru yang lebih kuat. Ia menyedot banyak cahaya matahari, sangat menyilaukan. Mereka berkumpul dan berpusar mengelilingi batu biru di dalamnya. Aku tak mempercayai mataku sendiri. Ini sungguh pemandangan paling menakjubkan yang pernah kulihat.
Oris mencium tanganku dan melompat ke udara. Ia terlihat lebih langsing dari biasanya, dia sangat cantik. Lalu aku menarik nafas terkesima ketika Oris merontokkan bulunya seperti bunga dandelion yang dihembus angin, menyisakan sesosok mahluk serangga serupa dengan yang kulihat tadi. Semua berlangsung sangat cepat.
“Hai Windi, aku adalah Oris, temanmu,” kata mahluk itu, suaranya yang halus seperti alunan seruling menggema di dalam kepalaku. Aku luar biasa terpana. “Kami tersesat di dimensi ini selama bertahun-tahun karena suatu kesalahan. Sekarang kami mendapat satu kesempatan untuk meninggalkan Bumi dan kembali ke tempat kami berasal. Itu bisa terjadi dengan bantuan seorang manusia, dan kami memilih Windi.”
Entah bagaimana aku bisa membantu mereka dalam hal ini, namun pandangan Oris membuatku tersenyum dan mengangguk paham.
Aku membiarkan ia menggenggam tanganku, jari-jarinya yang kurus sangat dingin. Kami menjejak udara dan melayang menuju bola kristal. Dalam jarak yang sangat dekat, bola dan batu bulat biru itu terlihat lebih indah. Ada cahaya ungu di antara cahaya kuning dan biru yang dominan. Mereka menari-nari dan berputar dalam bentuk untaian pita dan bola-bola yang terus berubah bentuk.
Kami berjalan semakin dekat, rasanya tubuhku amat santai dan kebahagian menyelimuti hatiku. Tak ada rasa lapar dan rasa sakit. Saat aku masuk ke dalam kubah aku tak merasakan lagi bagaimana caranya bernafas.
“Sekarang letakkan jarimu di atas permukaan batu ini, percayalah!” kata Oris, mengarahkan batu itu ke padaku. Aku duduk di dasar bola. Begitu aku menyentuh batu biru, ledakan cahaya putih membutakanku. “Windi, jangan dilepaskan sebelum waktunya! Aku akan meminjam energimu sedikit, ini sangat penting!” bisik Oris.
Empat mahluk mirip Oris terbang melewatiku dan masuk ke dalam. Mereka berpegangan dan membentuk formasi lingkaran di atasku. Oris berada di tengah mereka.
Sekarang bola kristal terangkat perlahan ke atas dan berputar cepat, meninggalkanku bersama batu biru yang menempel janggal di jariku. Di dalam bola, Oris dan teman-temannya seperti menari. Aku tak memejamkan mata, aku tak mau melewatkan pemandangan ini meskipun cahaya putih sangat menyilaukan. Kubah itu lalu melesat vertikal ke udara, terus semakin tinggi dan menghilang di atmosfir.
Semua cahaya terang tersedot masuk ke dalam batu biru dan aku terhempas jatuh ke Bumi. Segala yang kulihat di sekelilingku menciut; batang-batang pohon bunga matahari, bunga dan daun-daunnya mengecil. Dan batu biru yang kusentuh kini berada dalam genggamanku.
Kupejamkan mata pasrah dan aku tak tahu bagaimana, hal berikutnya yang aku ingat adalah aku sedang berdiri di depan pintu dapur rumah dan melirik ke dalam. Aku tidak benar-benar menyentuh lantai, kakiku melayang-layang dua senti di atas permukaannya.
Di dalam dapur Bibi yang berbadan besar sedang menyiapkan sarapanku, paman berdiri di belakangnya, tampak cemas.
“Kau sudah setuju melenyapkan saudaramu sendiri,” kata Bibi, “Kini biarkan aku melakukannya.”
“Baiklah. Pastikan ini tidak menyakitinya,” kata paman. Bibi tak menjawab, ia mengambil botol kecil dari dalam sakunya dan menuangkan sesuatu berbentuk bubuk ke dalam piring sup-ku.
“Akan sakit sedikit. Orang-orang akan berpikir Windi sakit keras karena merindukan orang tuanya, kematian anak itu akan terlihat sangat alami,” sahut bibi meyakinkan. “Lalu semua kekayaan ini akan menjadi milik kita.”
Cukup aku melihat ini.
Pintu dapur melesat menjauh dari tempatku berdiri. Aku berputar-putar janggal di udara, melayang ke atas, menembus plafon dan atap rumah. Aku bahkan bisa melihat serat kayu, sarang laba-laba dan tikus yang berlarian ke sudut gelap yang berdebu. Kemudian tubuhku sudah mengambang di atas atap rumah. Aku memandang langit senja memerah, lalu terpana menyaksikan matahari melesat cepat dari barat ke timur. Awan-awan dan langit biru diganti dengan bintang-bintang yang melesat cepat. Siang dan malam berganti, puluhan atau mungkin ratusan kali. Lalu perlahan melambat dan aku kembali tenggelam masuk ke dalam rumah. Pandanganku berhenti di depan pintu ruang kerja ayah.
Kulihat diriku yang lain sedang berdiri di depan pintu itu, diriku yang lebih muda. “Masuk sayang! Buka saja pintunya,” kudengar suara ayah dari dalam kamar.
Pandanganku mengikuti diriku masuk ke dalam kamar dan kutemukan ayah duduk di meja kerjanya. Beliau sedang menulis sesuatu. Aku ingat pemandangan ini, aku tahu ini sudah pernah terjadi.
“Ada yang bisa ayah bantu, Windi sayang?” beliau bertanya, suaranya yang hangat menggema jauh.
“Kapan ayah akan cerita tentang ibu?” Kudengar suaraku, pertanyaan ini sudah berulang kali kuucapkan.
“Sebentar lagi sayang, saat kamu berumur sembilan tahun, ayah janji,” katanya. Janji itu tak pernah beliau tepati.
“Janji?” Kulihat diriku yang lain berjalan mendekati ayah, mereka berpelukan sebentar, lalu ayah mencium keningku.
“Janji.”
“Selamat malam ayah,” diriku yang lain berbalik dan berjalan menembusku.
“Selamat malam Windi sayang.”
Aku masih di dalam kamar sementara ayah melanjutkan pekerjaannya. Kudekati beliau dengan hati-hati. Rasanya aku ingin sekali memeluk ayah untuk terakhir kalinya saja. Aku merindukannya, dan beliau berada di hadapanku.
Lalu, meski aku tahu ini tidak nyata, kudekati ayah dan membisikkan sesuatu persis di telinga.
“Seandainya suatu saat ayah harus terpaksa pergi meninggalkanku, pastikan aku tinggal bersama nenek, ini permintaan terakhirku. Aku mencintaimu ayah. Sampai jumpa.”
Aku yakin beberapa detik sebelum meninggalkan tempat itu, aku melihat ayah menoleh ke arahku dengan ekspresi bingung. Mungkinkah beliau mendengar suaraku? Aku tak yakin.
Kurasakan air mataku yang hangat meleleh menuruni pipiku dan angin dingin berhembus di punggung. Wajah ayah dan kamar itu sudah menghilang dibalik cahaya yang memudar, perlahan-lahan menyisakan langit biru yang dikelilingi pohon bunga matahari. Aku jatuh lembut dan berbaring di rerumputan. Batu biru itu masih berlindung aman di jemariku.
Kemudian hening yang sangat panjang, kupejamkan mata.
“Windi sayang,” kudengar suara lembut dan tua. Aku memandang wajah itu. Wajah berkulit putih, dengan bintik-bintik dan berkeriput. Wajah yang sangat familiar.
“Nenek?”
Beliau duduk di sampingku. Aku bangkit dengan susah payah dan memeluk beliau.
“Ayahmu telah pergi sayang, kau harus kuat. Kau hanya akan tinggal bersama nenek setelah ini, nenek yang akan merawatmu,” kata beliau penuh kehangatan. Aku mengangguk dan menangis dalam dekapannya.
Tampaknya aku sudah membantu Oris dan kawan-kawannya kembali ke negeri mereka, namun mereka membantu seluruh hidupku tanpa aku harus menjelaskan yang kuminta, Oris sudah memahamiku sepenuhnya. Namun aku sempat berpikir, kenapa aku tak bisa kembali ke masa lalu untuk menyelamatkan ayah? Namun batu biru yang masih kusimpan membuatku sadar, aku hanya bisa menyelamatkan diriku sendiri.
Aku dan nenek berjalan bergandengan tangan kembali ke rumah. Semua kejadian yang sama terulang, segalanya mirip, namun tak persis. Semua orang yang kutemui di rumah duka menyebutku anak yang tegar. Ya, selain tegar, aku juga merasa jauh lebih sehat.
Aku lega bibi dan paman tak nampak di manapun di rumah, mereka juga tak muncul di pemakaman ayah. Selama bertahun-tahun kemudian aku bahkan tak mendengar kabar apapun dari mereka.
Aku langsung pindah ke rumah nenek minggu itu. Beliau menyiapkanku kamar yang bagus sekali persis di samping kamarnya. Beliau juga menghadiahiku seekor anak kucing di hari ulang tahunku yang ke sembilan. Dan begitu kutemukan mahluk imut itu berwarna putih cemerlang dengan lingkaran hitam sempurna di punggungnya, seketika kupanggil dia Oris.

oris

***

Advertisement

One Comment Add yours

  1. Sulis says:

    Bagus lho…seneng bacanya…

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s