Kupindai wajah-wajah di sekelilingku, mencerna ekspresi para pelanggan yang sedang menikmati makan malam. Adakah kesedihan dan kebohongan di balik senyum, make up dan lipstik itu? Sebagian besar terlihat sempurna dan bahagia, tampak hidup. Sementara aku hanya zombie, sampai malam berakhir, sampai tahun yang melelahkan ini berganti. Atau… Atau mungkin untuk selamanya.
Kalau kita masih bersama sejak malam itu setahun yang lalu, apakah kita hidup bahagia sekarang?
Bekerja shift malam hari ini tidak berhasil menyibukkan pikiranku. Aku hanya terbiasa menghadapi berpasang-pasang manusia yang datang membayar. Mereka ini terdiri dari tiga kelompok besar; yang membayar dengan uang cash, dengan kartu kredit, dan sepasang kekasih yang memelototi satu sama lain—sebelum memutuskan siapa yang harus membayar. Yang terakhir ini sungguh mengherankan. Tapi siapapun mereka, aku akan bilang, “Terimakasih, silahkan datang kembali.”
Ini bukan mimpi buruk, aku melayang di luar angkasa yang gelap dan dingin, mencari-cari planet terdekat, yang tak tampak di manapun. Aku kehabisan energi untuk bergerak dan mencari pegangan. Aku tak mau menunggu lagi, aku tak ingin memikirkan masa depan. Apakah ada pilihan-pilihan lain? Atau kubiarkan saja diriku terkatung-katung selamanya, menunggu oksigenku habis?
Kadang ada pelanggan yang menatapku dengan wajah mengernyit misterius, pandangannya bertanya, “air mata yang kau sembunyikan, untuk dirimu atau orang lain?” aku ngeri dengan orang tipe begini, tak banyak, tapi mereka ini bisa membaca pikiran. Pelanggan jenis lainnya menyelipkan kartu nama di dalam lembar uang. Aku pernah menghubungi salah satunya, karena dia memiliki senyum yang luar biasa manis. Ternyata pria hidung belang beristri dan beranak tiga. Meski kesepian, aku tak sanggup merendahkan diriku dengan membiarkan pria ini menggerayangi tubuhku.
Sering kubayangkan dirimu akan masuk lewat pintu kaca depan setengah jam sebelum shift-ku berakhir, tersenyum hangat padaku lalu duduk di sudut dan memerhatikanku bekerja.
Pelanggan yang tak kusuka adalah orang-orang yang pernah kukenal, tapi tak mengenalku. Banyak di antara mereka akan memaksaku untuk berbasa-basi, bertukar akun facebook dan nomer telepon. Sisanya hanya tersenyum dengan tatapan yang tak kusukai. Ada juga yang memandang sinis. Aku tak ingat pernah memusuhi mereka ini dulu, bisa tidak untuk pura-pura tidak kenal saja? Apakah terlalu aneh melihat wanita bekerja di restoran sebagai kasir di malam tahun baru?
Demi apa aku masih menunggu? Bahkan ketika seorang pria baik hati dan rupawan berupaya mendekatiku, aku akan melihat senyummu di matanya. Hatiku masih di suatu tempat, lokerku terkunci rapat, dan aku pun mundur teratur.
Aku pindah ke Bali enam tahun lalu. Orang tuaku menentang ide ini mati-matian. Ibu ingin aku bekerja kantoran seperti dirinya dulu. Menunggu cukup umur untuk menikah dengan pria mapan tak kukenal, lalu aku akan berhenti bekerja dan membesarkan anak, menjadi ibu rumah tangga, menggemuk, dan dinafkahi suami seumur hidup. Apakah ini impian banyak wanita?
Aku menghabiskan semua tabunganku di Bali hanya dalam enam bulan. Awalnya aku belajar melukis dengan seniman komersil ngetop di Ubud, lalu aku tertarik dengan teknik mengukir patung kayu. Aku bahkan berhasil magang di salah satu perusahaan lokal di Batubulan. Hal yang paling boros tentunya berpelesir sendiri di sekeliling pulau sambil wisata kuliner.
Selama waktu yang menggairahkan itu, ibu menelponku setiap minggu. Aku tak peduli bombardir pesan petuahnya. Beliau bahkan sempat menuduhku durhaka. Bagaimanapun aku masih menyayangi orang tuaku dan memilih diam untuk menghindari konflik. Ini hidupku, jiwaku, aku akan menikmati setiap menitnya dengan caraku.
Sampai aku bertemu kamu, yang menjungkirbalikkan bumiku, aku begitu terikat padamu, tubuhku hancur saat kau pergi.
Setelah dua tahun berlalu, orang tuaku sepertinya menyerah, atau kupikir begitu. Namun setiap mudik hari raya, mereka akan menyindir-nyindir dengan cukup ekstrim, keroyokan dibantu beberapa paman dan tante. Mungkin mereka ingin memastikan aku juga menikah secepatnya dan merasakan derita yang sudah mereka jalani.
Tanganmu, senyummu dan kasihmu yang lembut pernah memanjakanku.
Pikiranmu, ide-idemu menghentakku. Kau mengaktifkan rangsangan, rancangan, dan kemenangan di dadaku.
Kembang api meledak lebih gila, bergemuruh seolah perang dunia ketiga baru saja dimulai. Banyak pasangan berpegangan tangan, beberapa berciuman. Lalu mereka memejamkan mata, mungkin meminta sesuatu dari Tuhan atau alam semesta–untuk kesuksesan dan kebahagiaan mereka di tahun baru ini. Aku sendiri melirik ke jendela, ke arah langit yang berwarna, pemborosan masal ini menyenangkan untuk dilihat.
Mereka bilang kalau jodoh takkan pergi. Awalnya aku menganggap kami ditakdirkan untuk bersama selamanya. Apa itu jodoh saat kutemukan diriku hidup sendiri lagi?
Mereka lalu bilang, maka biarkan waktu memulihkanmu, waktu yang akan menyapunya dari sudut-sudut hatimu,
Satu tahun berlalu, aku masih menunggu.
Saat shift-ku berakhir, aku duduk beristirahat di kursi depan restoran, menenggak minuman bersoda dan memandang ratusan manusia menyesaki jalanan pantai Kuta. Ini samudra manusia. Tumpah ruah, berkeringat, lokal-mancanegara, mereka bergerak dengan sangat perlahan. Pemandangan ini membuatku sesak nafas. Aku segera mengambil gambar dan berniat memposting adegan fenomenal ini di blog, Tetapi aku malah mengangkat kamera ke langit dan menangkap kilasan cahaya berwarna, lalu kutulis lagi di blog tentang apa yang kurasakan, dan kerinduan pada dia yang tak tahu sedang di mana.
Semoga jarak memeluk kita kembali. Semoga.
“Hai,” seseorang berdiri di sebelahku. Ia gadis yang tak kuingat namanya, bekerja di restoran sebelah. Kami sering berpapasan, kadang mengobrol sedikit sebelum mulai bekerja. Ia langsung duduk di sebelahku. Kami segera menatap langit, memandang sisa-sisa kembang api.
“Gak libur saja malam ini?” ia bertanya.
“Tak ada rencana apapun,” kataku. “Aku cukup senang bekerja di malam tahun baru. Kau sendiri gak jalan sama pacar? Aku sering melihat dia menjemputmu.” Aku tampaknya tak terlalu lihai berbasa-basi. Gadis itu sangat ramah.
“Kami baru putus seminggu lalu,” katanya. Oh itu kenapa kau tampak muram sekali.
“Maaf.” Bisa kurasakan kepedihan di matanya, maksudku kelopak mata bengkak karena lelah menangis.
Dia mengangguk. “Tapi sama seperti kamu, aku memutuskan untuk bekerja saja. Aku tadi hampir menangis melihat semua orang tampak bersenang-senang dengan pasangannya, sementara aku hanya bisa melayani mereka sambil memikirkan apa yang sedang ia lakukan untuk merayakan tahun baru dengan gebetan barunya. Rasanya sungguh menyedihkan.”
“Kenapa kalian putus?” tanyaku.
“Dia sudah tak mencintaiku lagi. Klise. Aku sungguh-sungguh ingin bertahan, namun sia-sia. Dia menginginkan orang lain,” jawabnya.
“Aku mengerti.”
“Kau putus juga sama pacar? Kapan?”
“Iya, satu tahun yang lalu.”
Sekumpulan kembang api meledak lagi di langit, seolah beberapa orang salah mengecek jam dan terlambat memasang kembang apinya. Pengunjung kembali bersorak-sorak. Aku menoleh ke samping, gadis ini terlihat sama syoknya dengan yang kuperkirakan.
“Apa yang terjadi? Selama satu tahun kau tidak bisa melupakannya?”
Aku belum pernah curhat tentang ini kepada siapapun. Namun gadis ini sedang merasakan derita yang mungkin pernah kurasakan. Kami berada di kapal karam serupa.
Tidak, aku tak pernah membencimu. Kau tak pernah menghancurkanku, aku menekan tombol dan kuledakkan diriku sendiri. Dan kau menontonku melakukannya.
“Kami berpacaran selama tiga tahun. Tahun pertama adalah waktu yang menggairahkan, kau pasti mengerti maksudku.” ia mengangguk. Karena dia tampak sangat antusias, aku melanjutkan.
“Aku menemukannya di situs jejaring sosial. Kami berkenalan karena dia sedang mencari distributor untuk patung-patung buatannya. Dia seniman yang berbakat, kami segera berbincang banyak dan kubantu dia mencari hal yang dia perlukan. Dia mengaku tak pernah berpacaran sejak patah hati lima tahun, namun aku segera menemukan dirinya sebagai sesuatu yang mengisi kekosongan yang pernah kurasakan selama ini. Aku senang sekali dia merasakan hal yang sama.”
“Aku tak pernah benar-benar merasakan itu,” kata gadis yang duduk di sebelahku ini. “Apakah itu artinya kami tak pernah benar-benar saling mencintai?”
“Tak ada yang bisa mengukur atau memilah jenis cinta,” kataku. “Kau ingin bersamanya saat itu. Lalu hal-hal terjadi. Hasrat berubah.”
“Aku mengerti,” katanya muram. “Lalu kenapa kalian bisa putus? Ada masalah apa?”
“Seorang teman melihatnya mencium wanita lain di club.”
Kulihat wajah gadis itu. Dia tampak sangat kaget. Seolah, hal semacam itu takkan pernah terjadi kepada kami.
“Aku bahkan tak tahu apakah itu benar dia atau tidak,” kataku melanjutkan. “Seminggu kemudian aku bilang padanya bahwa aku juga diam-diam berpacaran dengan pria lain. Aku tidak mengerti kenapa kulakukan itu. Kami pun bertengkar hebat, dan dia pergi dari rumah kontrakan kami, meninggalkan semua barang-barangnya. Dan tak pernah kembali.”
“Tak berkomunikasi lagi?”
“Dia meninggalkan semua barang miliknya,” kataku.
“Apakah kau benar-benar melakukannya? Perselingkuhan itu?” gadis itu bertanya lagi.
Aku tersenyum dan menggeleng.
“Menurutmu, dia benar-benar punya hubungan dengan orang lain?”
Aku mengangguk.
Dia kebingungan.
“Aku selalu membayangkan hubungan kami sempurna, tanpa cacat,”aku melanjutkan. “Dia seperti malaikat bagiku, yang membawa kehangatan. Dia menjagaku dengan sepenuh hatinya. Lalu waktu membuka hal-hal yang tak kau lihat sebelumnya. Aku bisa melihat perubahan dalam dirinya.”
Dia mengerti.
“Aku tak punya kesempatan untuk menyesal dan menjelaskan, dia mengganti nomer kontak, menutup akun sosialnya. Apakah dia membenciku? Itu pasti. Aku memang konyol.”
“Apakah kau berharap akan berjumpa lagi dengannya?” ia bertanya lagi. “Suatu saat?”
“Mungkin berpapasan di jalan atau semacamnya. Mungkin saja dia sudah bersama orang lain kan.”
Dia menunduk.
“Aku heran kenapa dia langsung percaya kau berselingkuh.”
“Mungkin karena dia sendiri yang melakukan itu. Lalu kebingungan untuk marah pada siapa saat mengetahui aku juga melakukannya.” kataku.
Aku ingat pada suatu malam yang riuh, dengan bunga-bunga api di udara, kau sedang bersamaku, sementara pikiranmu berlayar di laut yang asing.
“Apakah kau pernah membencinya karena menghilang begitu saja?”
“Kalau aku membencinya, berarti aku tak pernah mencintainya.”
Gadis itu tersenyum.
“Aku sendiri hampir membencinya. Lalu aku merindukannya,” ia bilang.
Kamu bertukar senyum.
Aku ingin memaafkanmu dengan memaafkan diriku.
Gadis itu pamit pulang dan berterimakasih atas percakapan singkat kami. Dan akhirnya aku tahu namanya. Kami bahkan bertukar nomer telepon. Dia juga membuatku berjanji untuk mengobrol lagi di lain waktu.
Aku berjalan menuju pantai sesaat setelah gadis pergi. Pantai masih penuh sesak, meski beberapa mulai bergerak pulang. Aku mengamati mainan-mainan yang di jual orang, senter-senter laser, tanduk bercahaya merah, penjual cemilan, kacang dan jagung bakar, aku bahkan melihat beberapa penjual kerak telor berupaya mengais rejeki dengan penerangan seadanya. Dan beberapa penjual lain masih menjajakan tabung-tabung kembang api.
Aku duduk di pasir di tengah keramaian. Setelah mengamati ke segala arah, aku mengecek beberapa komen di blog yang masuk. Jumlah pembaca bertambah pesat setiap harinya, aku senang banyak orang menikmati ceritaku, sejarahku. Aku mungkin bisa menerbitkan novel dengan tulisan-tulisan yang kuupload di sana. Belum pernah aku menulis sebanyak itu sejak aku mengenal blog satu setengah tahun yang lalu.
Saat pantai lebih lengang, aku ikut berjalan bersama-sama orang lain menuju tempat parkir. Sampah-sampah yang mereka tinggalkan di pantai sungguh pemandangan yang mengerikan. Orang-orang ini hanya tahu caranya bersenang-senang, tetapi tak mengerti betapa pentingnya sampah untuk berada di tempat sampah. Kapan masyarakat kita akan belajar cara hidup dengan lebih beradab?
Percakapan dengan gadis itu mengikutiku selama perjalanan pulang. Para tetangga di sekitar rumah kontrakan masih sibuk merayakan tahun baru. Aroma ayam kampung dan ikan bakar memenuhi udara. Sekelompok pemuda memutar lagu dangdut kencang-kencang sambil meminum bir. Beberapa bergoyang antusias.
Aku masuk ke dalam ruangan dan mengenyakkan diri ke sofa. Kupejamkan mata dengan harapan pikiranku bisa beristirahat, tetapi musik dangdut di luar tidak membantu. Lalu kubuka mata dan menemukan diriku merasa jauh lebih sendiri dari biasanya, kesendirian ini membunuhku perlahan.
Aku bangkit dan berjalan ke dapur. Kubuatkan diriku segelas teh hangat, meminumnya dan melirik ke jendela. Beberapa kembang api berkerlap-kerlip di atas atap-atap rumah di kejauhan. Langit di luar mulai gerimis. Alam masih sedikit mengasihiku.
Aku membawa gelas teh-ku dan melangkah naik kelantai dua, menuju kamarku. Ruangan di atas masih terang, aku tak pernah mematikan lampunya, well sejak dia pergi. Kubuka pintu kamar dan lampu tidurku sedang menyala, seperti saat aku meninggalkannya tadi siang. Lalu kutemukan seseorang sedang tidur di ranjangku. Tubuh seorang pria yang tak kukenali.
Sesuatu mencelos di dalam rongga dadaku, namun aku melangkah masuk dengan sangat perlahan. Pria itu tidur memeluk dirinya sendiri, memakai jaket parasut dan celana jeans pudar. Sebagian wajahnya tersembunyi, tak tersentuh cahaya. Tapi aku langsung mengenalinya. Dia.
Sedang apa kau di sini?
Rambutnya lebih panjang dari yang aku ingat. Ia sepertinya tak bercukur selama berbulan-bulan, tampak mengurus dan kurang merawat diri. Dan itu memang dia, setampan yang aku ingat. Sehangat yang aku rasakan dulu.
Hatiku menghangat.
Sesuatu menghentikan tangisku, padahal aku ingin menangis. Aku pasti tertidur di sofa, dan sekarang aku berjalan-jalan di dalam mimpi. Tak peduli ini nyata atau bukan, aku meletakkan gelas di meja tepi ranjang. Dia langsung membuka matanya dan memandangku. Suara gelas yang beradu dengan meja kaca membuatnya terjaga.
Kulihat air mata menuruni pipinya yang merah. Kami saling memandang. Segalanya jadi sunyi.
Kubiarkan lengannya meraih tubuhku. Aku tak ingat apakah aku menangis juga, yang kuingat jelas hanya tubuhnya yang hangat. Keningnya terbenam di leherku, terasa sangat panas. Ia demam. Itu sepuluh menit paling ganjil yang pernah kurasakan. Kami berpelukan lama. Berusaha memahami keberadaan masing-masing.
Kuambil gelas teh dari atas meja untuk dia minum.
Wajahnya menunduk selama beberapa detik, mungkin untuk merangkai kata.
“Selamat tahun baru,” katanya.
“Kau harus makan dan minum obat,” kataku.
“Aku baik-baik saja.”
“Apa yang membuatmu kembali?”
“Seseorang mengirimiku link blog-mu, bilang ia adalah salah satu pembacamu,” katanya. Aku mengangkat alis. Sungguh pembaca budiman.
“Maafkan aku,” katanya. “Aku tak sanggup melupakan kita. Tapi aku pikir kau mungkin sedang berbahagia dengan orang lain. Dan aku tak sanggup memikirkan itu terus.”
Kami sekali lagi berpandangan.
“Maafkan aku sudah membohongimu,” kataku.
“Maafkan aku karena mempercayainya begitu saja.”
Aku sudah memaafkannya lama sekali, bahkan sesaat setelah dia pergi. Kini giliranku untuk memaafkan diriku sendiri.
Nafasnya yang panas berhembus ke wajahku sesaat sebelum bibir kami bertemu.
***