Aura #2


Part 1

Pria itu melangkah melewati batang-batang pepohonan tinggi dan rapat. Udara dingin sore hari menyelinap ke balik jaketnya, giginya bergemeletuk. Hutan bertambah lebat saja di matanya, ia tak ingat bagaimana bisa sampai di tempat itu. Ia hanya yakin, bahwa teman-teman seperjalanan menyuruhnya mencari kayu bakar untuk api unggun nanti malam, namun rupanya ia melangkah masuk terlalu jauh ke dalam hutan dan tak ingat jalan kembali.

Pepohonan dan semak yang rimbun membuat jalanan gelap. Pipi, leher dan kedua tangannya gatal oleh-oleh serangga-serangga kecil yang berterbangan. Pria itu segera gemetar ketakutan. Suasana amat sunyi dan lengang. Ia tak mendengar suara apapun, tidak suara burung atau derik belalang. Ia bahkan tak sanggup mendengar desah nafasnya sendiri.

Bayangan-bayangan pohon berkelebat, ia mempercepat langkahnya dan menemukan jalan setapak yang agak lebar. Jalanan itu pasti sering dilalui orang, pria itu yakin. Ia akan segera menemukan teman-temannya yang menunggu di suatu tempat.

Jalan setapak berakhir di lahan terbuka yang dipenuhi rumput-rumput pendek dan bebatuan. Ia memandang berkeliling dan berusaha mengingat sesuatu. Lapangan kecil itu mirip sekali dengan tempat di mana ia dan teman-temannya mendirikan tenda tadi pagi.

Ia merasa perlu berteriak memanggil. Ia berpikir mungkin teman-temannya berada di dekat sana. Namun sedetik merayap saat ia mendekap mulutnya dengan ketakutan yang luar biasa, ia tak ingat siapa nama teman-temannya, begitu pula wajah mereka. Ia tak ingat sama sekali.

Pria itu memandang berkeliling, mencoba mencari jawaban atas ketidakberesan ini. Ia benar-benar tak mengerti apa yang terjadi.
Ia menghentikan langkah saat menemukan sesuatu meringkuk lima meter di dekatnya. Dalam keremangan ia mendekati sosok itu dengan hati-hati. Semakin dekat sekarang, ia bergerak menyamping, dan melihat sosok itu bukan batu, tapi tubuh seorang gadis berambut panjang yang badannya tergulung selimut. Ia tak berani menyentuhnya, sehingga ia berdiri saja dan mengamati.

Gadis itu meregangkan tubuhnya dan berusaha bangkit. Selimut yang melilit tubuhnya membuatnya meliuk-liuk tak berdaya. Pria itu hanya diam saja, ia tak berani bergerak semakin dekat seolah apapun yang dilihatnya membawa ancaman serius.

Gadis itu mendadak berteriak, sekencang-kencangnya, membuat remaja itu melangkah mundur seraya menutup telinga. Keheningan yang pecah itu membuatnya kaget setengah mati. Ia tersandung batu di belakang kakinya dan terhuyung jatuh.

Sosok itu terus berusaha bangkit, tubuhnya bergulat di dalam selimut, ia menggeliat seperti cacing dan menggelepar dengan posisi menyedihkan.
Ia menjerit lagi, lebih kencang dari sebelumnya. Selimut—atau apapun itu—mendadak membesar dan melebar ke samping, menutupi banyak bidang di tanah seperti cairan hitam pekat. Tak terlalu banyak cahaya di sekitar untuk pria itu menyaksikan apa yang sebenarnya berlangsung. Namun banyak sosok lagi meliuk-liuk di dekat yang pertama.

Gadis itu tak mampu menggerakkan tubuhnya lagi. Puluhan sosok-sosok gelap bermunculan dari tanah. Semuanya merangkak maju dengan menggenggam rumput-rumput untuk bergerak—seolah mereka tak berkaki. Pria itu terbius ngeri. Seluruh tubuhnya membeku tak berdaya. Salah satu mahluk maju tepat ke arahnya. Ia bisa melihat kepala hitam tak proporsional dengan sepasang mata merah menyala. Mata itu mengerjap cepat kepada pria itu, tiga lengan kurus mencuat, meluncur semakin dekat, dan meraih kakinya

Adam melompat bangun dengan jantung berdebar-debar kencang. Lama sekali untuknya menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Ia masih bisa merasakan tangan dingin dan kasar meraih pergelangan kakinya. Keringat dingin membasahi wajah dan tubuh pria itu.

Masih diliputi kengerian, ia mengintip ke arah kebun di luar melalui celah tenda. Ben, salah satu sahabatnya, ngorok pelan persis di sampingnya. Lalu ia menemukan adiknya tidur dengan pembatas kain di ujung tenda yang lain.
Adam meraih botol dan berusaha minum, lalu merebahkan diri lagi. Ia bersumpah takkan tidur sampai pagi karena mimpi serupa sudah menyerangnya empat kali selama perjalanan mereka. Namun dalam upayanya untuk tetap terjaga, ia tak kuasa menahan kelelahan, kedua matanya pun memejam dan tak sadarkan diri.
*

“Kenapa monyet ini begitu doyan tidur?”

“Aku tak pernah tahu Adam itu nama yang baik untuk monyet,” kata Lina agak gregetan. “Tapi, ah mereka kan nenek moyang kita.”

“Ada sesuatu yang mesti dilakukan untuk membangunkannya?” tanya Ben tanpa memelankan suara.

“Lima belas menit lagi kita harus berangkat, kau lihat tadi wajah pria itu? Toleransinya sampai jam enam katanya. Ini sangat mendesak, kakakku tidak akan bangun hanya dengan dipelototi.”

Beberapa menit kemudian mereka kembali masuk ke dalam tenda dengan barang-barang yang dibutuhkan.

“Aku akan menggelitikinya segila mungkin lalu menjewer kupingnya,” bisik Ben semangat.

“Dan aku aku akan menyiramnya dengan air es,” gumam Lina, mengangkat ember besar.

“Oke, itu bagus sekali.”

“Kau siap? Satu … dua …. tiga!”

“AAAAAAAAAAAAAAAAARRRRRGGGGHHHHHH!”
*

“Itu cara paling brutal untuk membangunkan seseorang, kalian sangat keji,” umpat Adam. Dua orang itu tertawa sampai sakit perut. Mobil melaju melewati daerah pegunungan. Pohon-pohon melesat ke belakang, hari beranjak siang dengan drastis tanpa mereka sadari.

“Hari ini Ulang Tahun-mu, Adam,” ujar Ben, menyetir. “Kau pantas mendapatkan perlakuan yang lebih buruk dari itu. Dan sayang sekali kami tidak ingat telur busuk.”

“Ya, aku melupakan telurnya,” timpal Lina. “Kau sangat beruntung.”

“Stroberi busuk sudah lumayan menjinjikkan,” kata Adam menghela nafas.

“Ngomong-ngomong, kita sudah sampai di mana?”

“Kita sedang mendekati kota,” sahut Ben semangat. “Lihat saja, kota asing yang dihuni zombie …”

Lina memukul kepalanya dengan tas.

Adam bersandar di kursinya, masih mengantuk. Lehernya pegal, semalaman ia tak benar-benar tidur. Mimpi buruk itu masih menghantui, ia selalu cemas setiap kali memikirkannya. Ya mimpi itu—benar-benar buruk.

“Wuoi, jangan melamun lagi!” ujar Lina, menggoncang kepala Adam dengan dua tangan.

Ben tertawa, “Iya. Kami trauma melihatmu kesurupan. Aku curiga jin penghuni kebun stroberi mengikutimu.”

Ketiga remaja ini menghabiskan liburan mereka dengan tur keliling pulau Jawa—tidak seutuhnya, kira-kira setengah pulau—dengan bermodal niat, peta butut dan uang patungan. Hari itu, mereka sempat mampir di salah satu kebun agrowisata Stroberi. Secara mengejutkan pemilik obyek wisata itu mengijinkan mereka mendirikan tenda di dekat kebun semalaman. Lina yang mencetuskan ide ini, itung-itung menghemat biaya penginapan. Adam dan Ben pasrah saja karena gadis itu satu-satunya yang memiliki hak suara untuk memutuskan, termasuk di mana mereka harus berhenti, atau di restoran mana mereka harus makan, dan sebagainya. Tak ada yang bisa mereka lakukan, Lina pemegang delapan puluh lima persen saham perjalanan ini.
Mobil melaju memasuki kota, jalanan di luar, toko-toko dan perumahan tampak asing.

“Kuharap tempat ini ada Mal-nya,” ujar Lina, merapikan syal abu-abu loreng yang melilit lehernya.

“Lin, kita berlibur untuk menghindari kepenatan kota, buat apa capek-capek ke sini buat nyari Mal?” sahut Ben menggeleng tak percaya. “Tinggal di Jakarta sana. Nongkrong di mal dua puluh empat jam, bawa tenda sekalian!”

“Aku lapar,” ujar gadis itu, menyomot headset yang dipakai kakaknya. “Dan aku butuh beberapa set pakaian dalam.”

Ben mencibir.

“Wow, lagu apa ini?” Lina mengumpat setelah mengeraskan volume ipod nano kakaknya.

“Kings of Leon,” ujar Adam pelan.

“Keren sekali.”

Sepuluh menit kemudian, atas desakan Lina, mobil mengerem, berbelok dan memasuki areal parkir.

“Oke, ini dia, Mal terakhir yang akan kita kunjungi,” seru si supir.

“Puji syukur Tuhan,” gumam gadis.

Adam membuka pintu dan menghadapi mobil mungil berwarna biru di hadapannya. Lina dan Ben sedang berdebat di sisi mobil yang lain.

“Jangan bilang kau meninggalkan tas di kebun stroberi, kakek Ben!” bentak Lina uring-uringan.

“Rasanya aku menaruhnya di sekitar sini,” ujar Ben mencari-cari di jok.

“Dasar sembrono!”

Sementara itu, dua orang gadis dengan tas-tas belanjaan muncul dari arah mal, bergerak mendekati mobil yang terparkir tepat di samping mobil rombongan.

“Permisi,” ujar gadis pertama saat berjalan di depan Adam. Ia memerhatikan ke dua gadis itu. Mereka adalah dua tipe wanita dari dunia yang berbeda. Salah satunya, gadis dengan rambut lurus disemir merah, ungu dan kuning, memakai pakaian bagus dan tampak modis, sedangkan temannya berpenampilan sangat seadanya, bahkan lusuh. Adam heran sekali melihat perpaduan ini.

Gadis berpakaian kusam itu meliriknya takut-takut saat memasuki mobil. Adam mengernyit saat kepala gadis itu membentur pintu mobil, saking kikuknya. Adam sempat melihat, ada lingkaran hitam di sekeliling matanya, sangat pucat seperti seseorang yang kurang tidur. Kulitnya yang putih sama sekali tak wajar, seolah gadis itu tak mendapat cukup cahaya dalam waktu yang lama. Lebih dari itu, meski sangat aneh, Adam merasa pernah melihatnya di suatu tempat.

Ia terus mengamati saat mobil itu mundur, memutar dan melaju meninggalkan tempat parkir. Ia berdiri kaku di sana, karena momen tadi mengaktifkan memori yang berkelebat di kepalanya. Ia merasa sedang mengenang sesuatu yang bahkan tak sanggup dipikirkan, jantungnya berdebar-debar aneh, tubuhnya meriang dingin.

“Hey, rasanya aku tahu mobil yang tadi lewat,” gumam Lina di seberang. Ben masih sibuk mencari dompet di seluruh sudut mobil. “Tapi entahlah, ada ribuan unit serupa di dunia ini.”

“Tasnya tidak ada!” ujar Ben horor. Lina memelototinya dengan tangan di pinggang. “Kita harus balik ke kebun stroberi sekarang!”

“Tidak ada harapan!” protes Lina frustasi. “Kau ingat betapa ramainya tempat itu di siang hari? Tak ada orang tolol yang akan melewatkan tas dengan uang jutaan rupiah di dalamnya! Kau mahluk tengil paling menyebalkan di seluruh alam semesta!”

Ben menggigit bibir, urat kepanikan berkedut di pelipisnya.
Adam sementara itu menarik nafas dalam-dalam dan menunduk. Matanya menyusuri lantai aspal dan menemukan sesuatu tergeletak di sana, satu buku tebal bersampul hitam.

Ia berjongkok dan mengambilnya. Ini pasti milik gadis itu, ia berpikir. Adam berdiri lagi dan segera menoleh, namun mobil biru itu telah menghilang dari pandangan.

“Tampaknya ada yang kesurupan lagi,” ujar Ben mengalihkan perhatian, melongok muncul dari lubang jendela mobil. Lina yang kepalanya tampak akan meledak bergerak memutar dan mendekati kakaknya. Ia menempelkan punggung tangannya di dahi pria itu, memeriksa kalau-kalau ia demam.
“Seharusnya kita tidak mengunjungi kebun stroberi,” tambah Ben merana.

Part 3

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s