Aura #1


the_night_walkers_by_hozzo

“Mama gak mungkin cuma membiarkannya di dalam kamar, kan?” ujar gadis itu, mengikat rambutnya yang dicat warna-warni. “Dia bisa mati di dalam sana tanpa seorang pun tahu!”

Wanita tua itu sibuk dengan pekerjaan jahitan, hanya itu yg dilakukannya sepanjang lima jam ini. Marin mengamatinya sedang berusaha memasukkan benang ke dalam jarum dengan tangan gemetar. Kaca mata tebal persegi bertengger di atas hidungnya. “Mama capek ngurusin dia. Mama sudah melakukan banyak hal, jangankan menyuruhnya meninggalkan kamar, mama jarang sekali bicara dengannya. Sudah bertahun-tahun, Marin. Aura hanya mengurung diri. Kematian orang tuanya membuat ia gila.”

“Tentu saja tidak begitu,” kata gadis itu. “Dia cuma butuh teman ngobrol. Kenapa mama gak bilang padaku Aura jadi begini sejak dulu? Aku bisa mengajaknya tinggal di Jakarta. Kupikir dia baik-baik saja disini.”

“Coba lagi bicara dengannya kalau begitu. Mama menyerah,” kata wanita itu, melanjutkan pekerjaannya.

“Baiklah,” Marin mendesah kecewa dan beranjak meninggalkan ruangan.

Gadis itu duduk sebentar di ruang tamu sambil menonton tv, kemudian bangkit lagi karena jenuh. Sebenarnya, dia heran sekali melihat kondisi rumah ini, setiap sudut kamar di rumah itu tampak sangat membosankan. Segalanya terasa begitu kosong, sunyi dan suram. Tak ada tukang kebun, tak ada pembantu, dan yang terparah bagi Marin adalah tak adanya hiburan. Mal dan salon kecantikan terdekat tiga puluh kilometer jauhnya, tak ada bioskop di manapun yang bisa ditemukan, Marin tak bisa hidup tanpa tiga tempat semacam itu.

“Aku takkan tahan berada di tempat ini,” gumamnya, menyusuri koridor menuju ruang keluarga. Kamar Aura berada di lantai dua, tepat di ujung. Marin sedang mengangkat kakinya ke anak tangga pertama ketika dua ekor tikus melompat ke arahnya. Gadis itu menjerit dan melompat mundur.

“Oh Tuhan,” gumamnya dengan tangan mendarat di dada, jantungnya berdebar-debar kencang. Ia bersandar di tembok. Tikus-tikus itu berlari secepat kilat dan menyelinap ke bawah sofa. Marin memerhatikan sofa dan tangga dengan seksama untuk menemukan kawan-kawan mereka.

Ia mendongak setelah yakin tidak ada tanda-tanda hewan pengerat lainnya dan melihat seseorang di atas tangga. Seorang gadis berdiri di sana, mengawasinya dengan tatapan hampa.

“Aura!” panggil Marin.

Gadis itu mundur pelan sekali seolah sesuatu menarik tubuhnya ke belakang dan ia menghilang dari pandangan. Marin memanggilnya lagi, tak ada balasan. Ia segera menaiki tangga untuk menyusulnya.

Koridor sepi begitu ia mencapai lantai atas. Keadaan di sana sama sekali berbeda dari apa yang pernah ia bayangkan. Semua perabotan tertutup kain. Segalanya tersepuh debu. Ada beberapa sudut yang masih ia ingat, sudut tempat ia bermain dulu sekali bersama salah satu sepupunya. Marin jadi mengingat akan paman, bibi dan anak-anak mereka yang meninggal karena kecelakaan dan meninggalkan warisan rumah beserta lima hektar tanah ini kepada keluarganya.

Ia melangkah terus, sambil mengamati lukisan-lukisan di dinding yang tampak buram termakan waktu. Beberapa foto kerabat keluarga paman di tengah-tengah figura terserang jamur, menutupi wajah-wajah yang rasanya masih ia ingat.

“Aura,” Marin memanggil lagi. Tempat itu begitu sunyi, Marin hanya mendengar deru nafasnya sendiri.

Kamar terakhir di ujung lorong, gumam gadis itu dalam hati. Kenapa mama dan papa membiarkannya tinggal di tempat ini, aku harus melakukan sesuatu.

Marin berhenti di depan satu pintu, ia mendengar sesuatu yang berkeretak di dalam, seolah tiga lusin tikus sedang menggigit-gigit lemari dan kaki ranjang.

Kamar ini kah?Demi Tuhan, siapa yang mau tinggal di tempat seperti ini?

Gadis itu menunduk, ia merasakan angin sejuk di kakinya berhembus dari bawah pintu, angin itu berasal dari kamar. “Aura!” ia memanggil lagi.

Tiga menit ia menunggu sebelum mengetuk pintu. “Aura, aku akan masuk. Kau baik-baik saja di dalam sana, kan?”

Masih tak ada sahutan. Merasa ada yang tidak beres, Marin memutar gagang pintu dan mendorongnya. Angin dingin berhembus ke wajahnya. Kamar itu terang, bahkan terlalu terang. Ia melihat jendela terbentang di ujung kamar, menyorotkan cahaya langit ke seluruh ruangan. Tirai abu-abu melambai-lambai terhempas angin. Ada ranjang besi di dekatnya, setengah dari selimut terbentang ke lantai, dan salah satu bantal tersembunyi di bawah ranjang. Pandangan Marin menyusur ke arah meja kayu yang merapat di dekat jendela, seorang gadis duduk di sana, memunggunginya.

“Aura,” Marin menyapa pelan. Angin berhembus dari halaman, membawa beberapa potong daun-daun kering ke dalam kamar. Lama sekali sampai gadis itu menyadari seseorang berdiri di depan pintu kamarnya.

“Marin…” gumamnya pelan, suaranya agak serak dan kaku, seolah itu kata pertama yang dia ucapkan setelah bertahun-tahun. Gadis itu akhirnya menoleh, rambutnya bergetar terhempas angin.

Dia mengenaliku, bathin Marin. Setelah sekian lama dia masih ingat.

“Maaf, kupikir sesuatu terjadi denganmu, jadi aku masuk untuk memastikan. Kau baik-baik saja?” ujarnya.

Aura mengangguk dan mempersilahkannya masuk. Marin duduk di tepi ranjang sambil mengamati keadaan ruangan itu. Ia tak bisa membayangkan bisa hidup di sana—seorang diri selama bertahun-tahun.

“Apa yang kau kerjakan?” tanya Marin. Aura menunduk, rambutnya yg terurai panjang terisisir rapi, meski sepertinya kurang terawat. Tangan kanannya memegang pena yang bagi Marin seperti benda-benda yang berada di museum. Pena itu bergerak lincah di atas lembaran-lembaran kertas putih kusam kecoklatan.

“Kau menulis diari?” Marin menebak, bersandar di pinggir meja. Ia berharap Aura mau berbicara dengannya.

Gadis itu mengangguk pelan, tangannya masih bergerak, menekan ujung pena pelan di atas kertas, dua paragraf sudah ia selesaikan di halaman itu.

“Sepertinya kau jarang berbicara, ya?” kata Marin lagi, kehabisan akal.

Aura mengangkat kepalanya dan memandang Marin, “Rambutmu bagus,” gumamnya pelan sekali, ujung bibirnya terangkat sedikit, berusaha tersenyum.

“Oh ini,” ujar Marin menggoyangkan kepalanya dengan gaya. “Lagi tren di kota, mewarnai rambut. Kau mau juga? Ini sangat menyenangkan.”

Aura diam lagi, ia kembali menunduk, melanjutkan tulisannya.

“Kuharap aku tidak mengganggumu,” kata Marin merasa tak enak.

“Aku sudah selesai,” kata Aura, menutup halaman diari dan meletakkan pena. Ia menutup botol tinta dengan hati-hati, lalu menyimpan semua peralatan itu di laci di bawah meja.

“Kau tak keberatan kalau kita ngobrol di halaman?” tanya Marin.

Aura menggeleng.

Kedua gadis itu meninggalkan rumah menuju pekarangan, mereka melangkah pelan di atas lantai kerikil, mendekati tiga ayunan yang berdiri di tengah-tengah halaman. Marin tak bisa menyembunyikan kegembiraannya.

“Aku tak begitu sering berada di sini, tapi kenangan yang paling kuingat akan rumah adalah ayunan ini,” ujarnya bersemangat. Ia langsung duduk di salah satu ayunan. “Kau sering berayun sendiri di sini, Aura?”

Gadis itu tersenyum, dan menggeleng. “Sesekali,” katanya.

“Kurasa inilah satu-satunya hiburan yang bisa ditemukan di tempat ini,” sahut Marin. “Aku dulu pernah membujuk papa menjual rumah ini secepatnya. Meskipun aku tak benar-benar menyukai tempat ini—aku sedang berusaha memahaminya.”

“Kenapa mesti menjualnya?” tanya Aura duduk di ayunan dekat Marin.

“Tempat ini sangat luas, dan tak ada yang mengurus,” kata gadis itu. “Papa terlalu pelit untuk membayar tukang kebun. Beliau takkan setuju, menjual tanah ini sama saja mengkhianati paman dan leluhur kami, katanya.”

“Ya,” gumam Aura.

Ada keheningan yang agak menakutkan bagi Marin. Ia duduk di ayunan itu tanpa berusaha berayun lagi. Sesekali semak-semak berkeresak janggal, diikuti suara-suara serangga dan siulan aneh di kejauhan, lalu angin dingin mendadak berhembus melewati mereka.

Marin sebenarnya tak betah berada di sana, tak pernah sepanjang ingatannya. Ia melewati banyak pengalaman mengerikan selama ia tinggal, namun ia pasti selalu ke mari, bagaimanapun ia harus menjenguk ke dua orang tuanya yang—sulit ia pahami—bersikeras untuk tinggal. Alasan mereka selalu sama setiap kali Marin membujuk mereka untuk pindah ke kota bersamanya. Rumah dan tanah ini harus dijaga, begitu ayahnya bilang, ayah sudah berjanji sama pamanmu. Marin ingat, ayahnya dulu pernah bangkrut sampai menjual toko bahan bangunan dan rumah mereka. Beberapa minggu kemudian paman dan seluruh anggota keluarganya meninggal karena kecelakaan, akhirnya mereka mewariskan tempat ini ke pada keluarga Marin.

“Aku heran, kenapa kalian betah tinggal di tempat ini?” kata gadis itu. Tak sengaja ia menoleh batu besar gelap yang berdiri di pojok pekarangan. Ia sama sekali tak menyukai batu itu. Ia pernah memimpikannya dulu, mimpi yang membuatnya tak berani bahkan untuk mendekatinya. “Liburan tahun lalu, aku hanya tahan selama seminggu. Tempat ini sangat menakutkan bagiku, terus terang. Kau tidak ngeri, Aura?”

Gadis itu memandang semak-semak berbunga kuning di kejauhan, dan menggeleng.

“Kau mesti sering-sering ke luar,” ujar Marin lagi, mengamati Aura dengan seksama. “Dan aku harus melakukan sesuatu dengan penampilanmu.”
Aura tersenyum. “Aku betah tinggal di sini,” katanya.
“Sulit dipercaya,” gumam Marin menggeleng. “Kau kedengaran seperti ayah dan ibuku. Kalau aku jadi mereka, aku sudah angkat kaki dari sini sejak tiga tahun yang lalu. Mereka seolah tak peduli apa yang selalu aku alami setiap kali aku mencoba bermalam di sini. Dan sekarang aku berada di sini lagi. Mungkin hal-hal mengerikan belum cukup menimpaku. Aku mencari alasan tentunya, alasan yang membuat kedua orang tuaku meninggalkan tempat ini.”

“Kenapa kau berpikir seperti itu?” tanya Aura bingung.

“Kau tak pernah merasa terganggu?” ujar Marin tak percaya.

Aura menggeleng santai. Ujung bibirnya tersungging.

Hening lagi, siulan-siulan aneh itu masih terdengar di suatu tempat di balik pepohonan. Sesaat Marin akan menanyakan apa Aura mendengarnya, namun ia memilih diam.

“Ngomong-ngomong,” gumam gadis itu akhirnya. “Siang nanti kita akan jalan-jalan ke luar ya. Bagaimanapun, aku penasaran bagaimana tempat ini berkembang.”

“Jalan-jalan?”

“Kau perlu refreshing, dan kita akan belanja banyak,” kata Marin mengernyit.

“Aku harus meminta ijin dulu sebelum pergi,” ujar Aura serius.

“Mamaku takkan peduli kau pergi jalan-jalan sebentar, apalagi bersamaku,” kata Marin meyakinkan. Ia menyisir rambutnya yang bercahaya dengan jari. “Kau tak usah khawatir.”

“Bukan ijin dari Ibumu, tapi Ibuku…”

Part 2

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s