Pria itu bersimpuh di lantai.
“Maafkan aku Sri, kutukan itu kembali ke keluarga kami.”
Istrinya baru saja meninggal saat melahirkan anak pertama mereka, diikuti hilangnya nyawa dokter dan dua perawat yang membantu persalinan. “Aku akan mengirimimu uang setiap bulan kalau kau bersedia merawat anak ini. Kau tentunya tahu ini pekerjaan yang mustahil dan berbahaya. Aku takkan menghalangi keputusanmu untuk berhenti.”
“Tidak apa-apa tuan, saya akan menjaganya,” jawab Sri, wanita yang bekerja padanya di rumah. Pria itu terkejut.
Sebelum Sri mengangkat bayi itu dari ranjang di rumah sakit untuk pertama kalinya, dia berkata, “Wahai malaikat, dewa agung atau siapapun yang berkuasa di dalammu. Jika kau membunuhku sekarang, aku rela. Aku sudah hidup cukup lama, aku tidak takut mati. Sekarang, jika kau mengijinkanku untuk merawatnya… ”
*
Sri memberinya nama Yena. Hingga berumur 8 tahun, ia pikir kutukan itu menghilang. Yena pun telah tumbuh menjadi gadis kecil yang manis dengan rambut yang sangat lebat dan panjang. Sri tak berani memotong rambut itu.
Yena belajar membaca dan menulis di rumah, karena Sri berpikir tak mungkin mendaftarkannya ke sekolah dan membiarkan kutukan itu mengancam nyawa guru dan anak-anak lain. Namun setiap pagi ia menemukan Yena berdiri di jendela dengan memandang keluar, ke arah anak-anak yang berjalan kaki menuju sekolah. Ia pun tak tega dan memutuskan untuk mendaftarkan Yena ke sekolah. Sri mulai yakin kutukan itu sudah lama hilang, buktinya dia sendiri baik-baik saja.
“Apakah kau sudah mulai mendapatkan teman-teman?” tanya Sri khawatir, setelah dua hari.
“Teman sebangkuku Lina, dia sangat baik padaku, dia membagi bekalnya saat makan siang.”
Semua tampak baik-baik saja, wanita itu sangat lega.
Pada hari ke lima Yena pulang ke rumah dengan muka murung, membuat Sri penasaran.
“Hari ini Lina tidak masuk kelas, bu,” gadis itu bilang setelah meletakkan tasnya ke atas meja makan. “Kata Bu guru, Lina tidak bisa masuk ke sekolah lagi karena ikut orang tuanya pindah ke luar kota.”
Sri menjatuhkan gelasnya, yang pecah di lantai. Ia panik dan bangkit, membiarkan pecahan gelas bertebaran. Yena mengamati wanita tua itu tergopoh mendekati meja untuk mengambil telepon.
“Yena, kau segera ganti pakaian di kamar, setengah jam lagi kau turun untuk makan siang!” suruhnya dengan suara bergetar.
Yena bangkit dari kursi dan berjalan meninggalkan ruangan. Dia masih memandang Sri dengan bertanya-tanya dalam hati.
Setelah memastikan gadis itu telah meninggalkan ruangan, Sri menekan nomer telepon dan menunggu.
“Iya benar,” ia menjawab, nafasnya tidak teratur, keringat membasahi pelipisnya, “saya orang tua Yena, saya ingin tahu keadaan Lina teman sebangkunya. Apa benar … Lina pindah ke sekolah lain? Anak saya terlihat sedih hari ini.”
Setelah dua puluh detik mendengarkan, wanita itu ambruk ke lantai.
Yena tak pernah kembali lagi ke sekolah sejak saat itu. Sri memberitahunya bahwa cukup dia saja yang mengajarinya di rumah. Untuk pertama kalinya Yena memberontak dan tak mau bicara dengan Sri selama beberapa hari. Dia marah, dia menuntut alasannya, namun wanita itu tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan.
Sri segera menghubungi semua kerabatnya untuk mencari bantuan paranormal. Ada sepuluh yang berhasil dia hubungi, namun kebanyakan dari mereka menolak datang setelah mendengar kasusnya. Hingga pada suatu saat seorang pria bernama Genjing Setyo bersedia.
Pria itu berumur sekitar 65 tahun, berjenggot dan berkumis lebat dengan pakaian serba putih. Sri menyambutnya dengan senyuman canggung dan mempersilahkan dia masuk.
Pak Genjing sangat kurus, ia memiliki tulang pipi yang tinggi, matanya bulat kemerahan. Saat duduk di ruang tamu, Ia mengamati setiap sudut tempat dan bilang ke pada Sri bahwa ada dua tuyul bersembunyi di balik meja televisi.
“Kurasa yang akan anda hadapi sebentar lagi lebih dari sekedar tuyul, pak,” sahut Sri cemas.
“Oh saya tahu, tentu saja! Tentu saja!” jawab Pak Genjing tertawa. “Di mana anak itu sekarang?”
“Ikuti saya pak, sebelah sini.”
Paranormal itu mengikuti Sri menaiki tangga dan berhenti di pintu ketiga di ujung koridor.
“Yena,” panggil Sri, mengetuk pintu. “Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu.”
“Iya, Bu,” sahut Yena dari dalam. Sri membuka pintu dan mempersilahkan Pak Genjing masuk.
Yena sedang duduk di ranjangnya, memunggungi mereka.
“Ada yang ingin mengobrol denganmu sebentar,” kata Sri. Yena menoleh dengan tidak bersemangat. Sri mempersilahkan Pak Genjing duduk di kursi dekat meja belajar. Pria itu segera mengamati Yena dengan seksama, yang membalas dengan tatapan malu.
Sri meninggalkan mereka dan kembali ke dapur. Dia melanjutkan kembali pekerjaannya membersihkan peralatan masak dengan kepala dipenuhi kekhawatiran.
Lima belas menit kemudian terdengar teriakan pak Genjing dari lantai dua. Sri buru-buru meninggalkan dapur dan menemukan pria malang itu berlari tergopoh-gopoh menuruni tangga. Ia tak memedulikan Sri yang bertanya padanya. Pak Genjing yang terlihat panik beranjak meninggalkan rumah mereka tanpa berkata apa-apa lagi. Sesuatu yang mengerikan pasti terjadi di atas.
Sri segera mendekati jendela dan melihat Pak Genjing berlari meninggalkan halaman menuju jalan raya. Pria itu menabrak minibus yang melaju kencang, membuat tubuhnya terpental sejauh tujuh meter.
Sri berada di kantor polisi sepanjang siang karena ia dan beberapa tetangga menjadi saksi kecelakaan itu, namun Sri tidak memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Siapa yang akan mempercayainya? Kasus itu pun ditutup.
Malamnya Yena masih memohon-mohon pada Sri supaya dia bisa kembali ke sekolah. Awalnya wanita itu hanya bisa menggeleng dan memberitahu bahwa dia tak bisa membiarkan itu. Namun Yena tak bisa berhenti bertanya.
Saat Sri mulai akan bercerita, helai demi helai rambut Yena terangkat ke udara, memanjang dengan ganjil dan perlahan berkumpul di sudut. Sri bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mundur. Rambut itu sekarang mengembang menjadi sangat banyak. Sri gemetar memperhatikan rambut-rambut itu menggeliat dan membentuk sosok tubuh yang sangat besar, tingginya hampir menyentuh plafon. Rambut Yena telah berubah wujud menjadi raksasa hitam bertangan panjang. Sri mendekap mulutnya dan berlari meninggalkan kamar.
Tiga bulan setelah kematian Pak Genjing, seseorang paranormal lain bernama Uli Nadir menelpon Sri.
“Saya bukannya tidak menghargai pertolongan saudara,” jawab Sri. “Hal yang sangat mengerikan sudah pernah terjadi di sini.”
“Saya mengerti. Saya mendengar mengenai kutukan Yena dari saudara ibu, Mbak Trianing,” kata Uli. “Saya memang tak sepenuhnya yakin bisa menolong Yena, namun sejak mendengar kasus ini, saya tak bisa berhenti memikirkannya. Kalau anda tak mengijinkan saya untuk berkunjung, saya mengerti, tapi anda harus melakukan saran saya.”
“Baiklah,” sahut Sri, tidak yakin.
“Setiap hari minggu anda harus datang ke rumah saya untuk mengambil sesuatu. Saya bisa berkomunikasi dengan Yena tanpa harus menjumpainya. Jika itu yang anda takutkan.”
Wanita itu sangat bingung, namun ia bilang setuju.
Hari minggu selanjutnya Sri berangkat ke rumah Uli Nadir yang berada sekitar sepuluh kilometer dari rumah. Uli adalah wanita cantik berumur dua puluh lima tahun.
“Saya masih kuliah,” kata Uli, wanita ini memiliki wajah tirus dengan senyum lebar. Sri sangat heran mendapati bagaimana seorang gadis belia bisa menjadi paranormal.
“Saya mengucapkan terimakasih atas kesedian Uli untuk menolong Yena. Gadis itu …”
“Saya tahu,” potong Uli tersenyum. “Tunggu sebentar.”
Uli datang kembali ke ruangan membawa dua buku besar dan tiga novel. “Aku rasa Yena sudah bisa membaca,” kata Uli. Sri mengangguk.
“Nah, berikan buku-buku ini padanya. Saya yakin dia akan menyukainya.”
“Itu saja?” tanya Sri tidak percaya.
Uli mengangguk dengan wajah sangat bersemangat. “Dia tak perlu meninggalkan kamar untuk bisa berjalan-jalan ke banyak tempat yang menakjubkan.”
Yena sedang tidur ketika Sri sampai di rumah. Dia masuk ke dalam kamar anak itu dengan hati-hati supaya tak membangunkannya dan meletakkan tumpukan buku di atas meja belajar. Sri tak sanggup berada di kamar itu lebih dari satu menit, dia selalu merasakan hawa dingin menyusup ke ubun-ubunnya, apalagi sejak kejadian raksasa rambut itu.
Saat Yena terbangun, Ia pun menemukan buku-buku bertumpuk rapi. Sampulnya yang berwarna-warni berkilau tertimpa cahaya matahari sore yang merembes masuk melewati tirai jendela. Mata gadis itu membuka lebar, harta karun baru saja ia temukan.
Ia membuka kertas biru yang menempel di sampul buku berjudul The Borrowers karya Mary Norton, dan membaca surat kecil yang ditulis Uli untuknya:
Silahkan baca kami, salam sayang.
Malam itu, setelah menghabiskan buku The Borrowers, Yena berbaring di ranjang. Pikirannya masih mengembara bersama Ariety yang berlarian di bawah rumput saat suara berderak keras mengagetkannya, ia melihat langit-langit kamar lenyap dalam sekejap, dinding di sekelilingnya tenggelam ke lantai dan pagar tanaman tumbuh menggantikannya.
Segalanya berlangsung begitu cepat, Yena segera bangkit dan menemukan diri di jalanan setapak dengan aneka tanaman raksasa di sekelilingnya, hari mendadak kembali sore, langit sekarang berwarna kuning keemasan. Yena tak mengerti apa yang terjadi, ia bisa melihat bunga-bunga merah dan ungu yang besar jauh di atasnya. Yena melangkah dengan hati-hati dan memperhatikan segala sesuatu di sekitarnya dengan takjub. Ia berhenti di lapangan kecil yang ditumbuhi rumput-rumput setinggi tubuhnya.
Tanah tempatnya berdiri bergetar keras, membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh. Ia merangkak mundur ketika tiga tangan hitam menyeruak beberapa meter dari tempatnya. Tanah dan rerumputan berhamburan ke langit. Yena bangkit dan berusaha melarikan diri, namun salah satu tangan dengan cepat menangkap tubuhnya dan mengangkatnya ke udara. Lalu tubuhnya terlontar ke langit. Dia melesat ke udara dengan cepat, lalu perlahan-lahan ia melihat kepala besar bermata merah melayang-layang di atasnya. Ia bisa melihat kepala itu membuka mulutnya lebar-lebar hendak memakannya.
Yena tersentak dan terjaga di atas ranjangnya dengan tubuh berkeringat. Suara buku yang berdebam jatuh dari meja membangunkannya. Ia bangkit dengan kepala pusing untuk mengangkat buku itu dari lantai dan meletakkannya kembali ke atas meja.
Ia tak berani tidur lagi dan akhirnya membaca buku yang terjatuh tadi. Buku itu berukuran besar, dengan sampul berwarna biru cerah, berjudul: “Ensiklopedia Serangga.”
Sepanjang malam itu ia pun hanya membaca dan melihat ilustrasi serangga yang menarik perhatiannya. Ia menemukan arti istilah mimikri dan bagaimana para serangga memakai warna-warna cerah di sayapnya untuk bertahan hidup.
Setelah lima hari, semua buku sudah habis Yena baca. Saking senangnya, ia hampir melupakan mimpi buruk itu. Dia menyukai semua buku-buku yang dikirim Uli, namun The Borrower, Harold dan Krayon Merah, dan James dan Persik Raksasa adalah favoritnya. Ia pun haus akan kisah-kisah yang lain.
“Apakah ada buku yang bisa aku baca, bu?”
“Ibu rasa ada,” sahut Sri. “Akan Ibu carikan.” Ia mengangkat kelima buku itu dari atas meja dan meletakkan di dalam tas. Siang itu Sri berangkat meninggalkan rumah menuju kediaman Uli.
Wanita berwajah tirus itu menyambutnya dengan gembira. “Sudah selesai baca semua?” ia bertanya.
Sri mengangguk. “Yena sangat menyukainya, dia menginginkan buku-buku lain.”
“Menurut ibu bagaimana?”
“Aku belum mengerti bagaimana ini akan menolong anak itu,” kata Sri, “Tapi setidaknya Yena tidak akan bosan tinggal terus di dalam kamarnya.”
Uli memberikan sepuluh buku lagi padanya.
*
Selama satu tahun sejak saat itu Yena tak pernah meninggalkan rumah, ia menghabiskan waktu dengan membaca dan membaca. Beberapa karya Roald Dahl adalah favoritnya, dia juga sudah menyelesaikan seri karya JK Rowling, dan buku-buku lainnya seperti Jembatan ke Terabhitia, Where the Wild Things are, Charlotte’s Web, dan banyak lagi. Rambutnya pun kini telah tumbuh sangat panjang, lebih panjang dari tinggi tubuhnya. Sri tak berani menyentuh rambut gadis itu.
“Terimakasih atas buku-bukunya yang indah, aku suka sekali membaca cerita Hobbit. Entah dengan apa aku bisa membayar kebaikanmu.”
Yena tahu Sri pastinya mendapatkan buku-buku itu dari seseorang, sehingga dia menulis sepucuk surat dan menyelipkannya pada satu buah buku.
*
Seminggu kemudian, pada suatu malam bulan purnama, Yena kembali menemukan dirinya berdiri di jalanan setapak yang dikelilingi tanaman raksasa. “Jangan berjalan ke arah sana!” ia berkata dalam hati, sehingga ia berbalik dan melangkah ke arah berlawanan. Setelah sepuluh meter berjalan, tanah kembali berguncang. Yena menoleh untuk melihat tiga tangan membuncah dari tanah, Yena berlari sekuat tenaga. Tangan-tangan hitam berambut itu meluncur cepat ke padanya. Ia berulang kali terpeleset di jalanan yang basah dan licin.
Saat salah satu tangan hendak menyambar tubuhnya, Yena melihat ngengat bulan berwarna kuning cerah terbang melayang di depan wajahnya, Yena menarik nafas dengan perlahan dan menyadari waktu berjalan lebih lambat, tangan monster itu membeku selama beberapa detik, memberi kesempatan untuk ia bangkit dan berlari mengikuti ngengat itu. Keduanya berbelok ke jalanan kecil yang diapit pagar tanaman berwana perak. Ia tak menoleh lagi ke belakang.
Ia pun menemukan pohon besar berdaun hijau keemasan yang dikelilingi semak-semak tinggi, Membuatnya terpesona. Si ngengat bulan terbang mengelilingi pohon, lalu merendah dan masuk ke celah kecil di bawah pohon. Ia segera mengikuti jejaknya dan masuk.
Setelah merangkak naik di lorong sempit basah yang dikelilingi akar, Ia sampai di ruangan kecil berdinding kayu dan dipenuhi akar gantung. Cahaya kekuningan meluncur masuk dari lubang-lubang kecil di dinding. Ruangan itu berbau kayu dan hangat. Yena melihat seorang wanita berdiri di sudut sambil mengintip ke luar .
Wanita segera menghadapnya. “Oh hai Yena, sudah sampai.”
“Siapa kau?” ia bertanya, waspada.
Wanita itu mendekat dan meraih tangan Yena dengan bersemangat. “Jangan takut, Aku Uli, aku di sini untuk membantumu.”
“Apakah kau ngengat bulan yang tadi?”
Uli mengangguk dan tersenyum.
“Kupikir awalnya kupu-kupu,” kata Yena, “Tapi itu ngengat Bulan Madagaskar, aku mengenali ekornya.”
“Aku lega kamu ingat,” kata Uli senang. “Sini ikut denganku!”
Uli mengajak Yena berjalan ke tepi dan menyuruhnya mengintip ke luar.
Yena melihat pemandangan mengerikan itu lagi. Monster berwujud kepala hitam dan besar yang dulu hampir memakannya sedang terbang melayang-layang di atas pepohonan, matanya yang besar memandang ke segala arah, mencari-cari ke setiap sudut hutan. Gadis itu merinding.
“Dia mencarimu,” kata Uli.
“Apa yang diinginkan mahluk itu dariku?” tanya Yena. “Apakah ini ada hubungannya dengan kenyataan ibu tak mengijikanku sekolah? Apa aku dalam bahaya?”
“Kau berbahaya bagi orang-orang di sekelilingmu. Ini tulah yang mengerikan.”
“Bagaimana anda tahu? Apakah anda yang memberikan saya buku-buku itu?”
Uli mengangguk. “Dengan itu aku bisa berkomunikasi dengan pikiranmu.”
Yena kebingungan, banyak sekali yang tak ia pahami.
“Aku masuk lewat imajinasimu. Imajinasi ada di bagian kepalamu yang tertutup partisi, tempat yang sangat aman.”
“Tadi anda bilang tentang tulah. Apa itu?”
“Lima ratus tahun, leluhurmu melakukan sesuatu yang mengerikan,” Uli mulai becerita. “Mereka adalah keluarga bangsawan yang jatuh miskin. Untuk kembali menjadi kaya dan berkuasa, mereka menemui Ki Janging di pondoknya di dalam hutan. Ki Janging dipercaya mengenal penguasa dari alam kegelapan. Mahluk ini bisa mendatangkan kekuasaan dan kekayaan bagi siapapun yang meminta. Untuk mendapatkan yang mereka inginkan, leluhurmu harus menumbalkan salah satu anggota keluarga yang paling disayangi lewat Ki Janging. Leluhurmu tak menyanggupinya karena masih sangat sayang pada anak istri mereka. Salah satunya pun menganjurkan untuk mengambil generasi mereka di masa depan.”
Yena mendengarkan dengan seksama. “Ki Janging menyetujui tawaran itu dan leluhurmu pun kembali ke rumah. Dalam sekejap kekayaan pun mereka dapatkan kembali. Hingga bertahun-tahun lamanya, leluhurmu melupakan tumbal yang mereka janjikan.
“Lelah menunggu, Ki Janging murka dan mendatangi rumah leluhurmu untuk managih janji, namun mereka malah mengirim dua orang pria untuk membunuhnya. Sebelum Ki Janging meregang nyawa, ia mengutuk keluarga ini. Dia berteriak; setiap tiga generasi akan tumbuh satu anak yang akan membawa kematian bagi siapapun yang dekat dengannya. Generasi keluargamu nyaris habis, tapi beberapa selalu bisa menyelamatkan diri. Bagaimanapun kutukan ini selalu mengikuti mereka tanpa tahu apa sesungguhnya melatarbelakangi.
Terdengar gerungan yang memekakkan telinga di luar.
“Generasi sekarang itu kamu Yena,” lanjut Uli cepat-cepat. “Aku tahu ini tidak adil. Dan aku minta maaf karena tak banyak hal yang bisa kulakukan untuk menyelamatkanmu. Setelah ini kau yang harus melakukannya seorang diri.”
Yena mengangguk. Gerungan di luar terdengar semakin keras, lalu hantaman keras ke pohon itu membuat ruangan berguncang kuat.
“Aku harus pergi, Yena. Kau akan segera terbangun. Ingatlah, katakan apa yg harus dikatakan! Jaga dirimu!”
Yena benar terjaga begitu ia mengejapkan mata. Dalam cahaya remang dia memerhatikan rambutnya menjuntai lebih panjang dari biasanya. Yena memandang menyusuri rambut hitamnya dan menemukan sosok besar memandangnya dari sudut kamar. Ia menjerit.
“Yena!” teriak seseorang. Ia melihat Sri menggantung ganjil di langit-langit ruangan, tangan besar mencengkeram lehernya.
“Ibu!” teriak gadis itu.
“Maafkan aku Yena,” kata Sri menangis. “Ibu pikir dengan memotong rambutmu, kutukan itu bisa hilang, tapi ibu tak berhasil melakukannya.”
Gunting besar tergeletak di lantai satu meter di depan ranjang.
Mahluk itu menggerung marah. Satu lengan besar berbentuk jalinan rambut meluncur dari tubuhnya dan mendekati Yena.
“Kumohon jangan mengambil nyawa ibuku,” isak Yena, rambut-rambut berterbangan dan menyapu seluruh ruangan dengan liar. Tangan monster itu meraih tubuh Yena dan mengangkatnya. “Ambil saja nyawaku! Aku tak mau ada orang lain yang mati karena aku.”
“Aku tidak takut, anakku,” kata Sri berurai air mata. “Sejak kau kugendong untuk pertama kalinya, aku sudah merelakan hidupku. Apa bedanya kalau aku mati hari ini. Kau sendiri yang harus bertahan Yena.”
“Maafkan! Aku mohon maafkan kami!” Yena berteriak setelah tangan itu mencengkeram tubuhnya dengan sangat erat, ia terbatuk dan menangis. “Dengan cara apa lagi aku harus membayar kesalahan leluhurku. Kenapa anda tak merenggut nyawaku saja, wahai Ki Janging? Aku sungguh-sungguh meminta maaf darimu, atas nama leluhurku.”
Terdengar teriakan serak yang memekakkan telinga, lalu mahluk itu melepaskan cengkeraman tangannya dari tubuh Yena, membuatnya terhempas ke ranjang. Sri sementara itu terjatuh ke lantai dengan tubuh lemas. Rambut-rambut berkelebat di mana-mana sebelum menyusut perlahan. Yena dengan segera turun dari ranjang dan mengambil gunting dari lantai. Mahluk itu menggeliat di sudut, dia hanya berwujud onggokan rambut sekarang.
Yena menggenggam rambutnya dan segera memotongnya. Kamar bergetar, lampu yang menggantung di langit-langit berkedip dan padam
Setelah mengerut dan berdenyut-denyut, mahluk itu kini berubah wujud menjadi sosok pria tua berbaju hitam. Ia menoleh dan memadang Yena, wajah itu begitu pucat, sedih, letih dan penuh keriput. Ia mengamati Yena selama lima detik dan mengangguk, lalu terbang menembus jendela.
Yena bergegas mendekati Sri, namun wanita itu telah tiada.
Setelah menangis lama sekali di dekat jasad ibunya, Yena beranjak dan mendekati meja belajar. Ia mengambil salah satu buku yang belum sempat ia baca, buku itu berjudul Matilda. Ia membukanya dan menemukan kertas biru terlipat di halaman pertama, Ia pun membaca surat balasan dari Uli.
“Lega akhirnya kamu menulis surat ini. Dengan senang hati, buku-buku itu sudah habis kubaca lama sekali, daripada hanya diam di lemari dan menunggu rusak, buku-buku ini pastinya senang jika semakin banyak orang yang membaca mereka. Oh ya, kalau kamu ingin mengobrol, hubungi saja nomer yang kutulis di bawah ini. Salam sayang.”
***