Aku ingat sedang berdiri tepat di bawah pohon ini sembilan tahun yang lalu. Aku sedang mendongak ke atas, memerhatikan bonggol-bonggol kayu tua dan jutaan akar gantung. Pohon Beringin ini ada di kebun belakang rumah kami, kakekku pernah bilang umurnya mungkin lebih dari 500 tahun, kau bisa bayangkan itu? Dan ukurannya luar biasa besar—aku memberitahumu—tingginya lebih dari 200 meter. Orang-orang Desa bisa melihatnya dari berbagai sudut desa sejauh lima kilo meter, kecuali bagi mereka yang berada di balik bukit.
Beberapa anak-anak desa sering bermain ke mari saat pagi atau sore, meski banyak yang bilang pohon ini angker. Orang-orang tua tak mengijinkan kami berkeliaran di sini pada siang hari. Kami bisa diculik nenek bongkok berwajah keriput, begitu kata mereka. Tentu saja tidak ada nenek-nenek semacam itu.
Pagi itu, sekitar jam setengah sepuluh, sementara teman-teman sedang berenang di sungai, aku memutuskan untuk ke mari karena sedang pilek. Pohon itu tampak sepuluh kali lipat lebih seram saat kau datang sendirian.
Baru saja aku memutuskan untuk pulang saja saat suara kicauan burung yang merdu terdengar dari atas pohon. Aku bisa melihat burung itu, berdiri di atas dahan dua puluh meter tingginya. Aku tidak tahu burung apa itu. Ia seukuran ayam jago dengan ekor yang panjang sekali. Warna kepala, leher, sayap dan ekor-nya selang-seling antara kuning, ungu dan biru. Jelas itu burung yang sangat langka. Aku punya buku ensiklopedia tentang spesies burung dari seluruh dunia—dan aku tak mengenali yang satu ini.
Aku mengerang kecewa saat burung itu terbang dan menghilang dari pandangan. Ia terbang ke atas supaya aku tak melihatnya, padahal aku masih sangat penasaran dan terpesona.
Lima menit kepalaku mendongak sampai pegal, berharap burung itu muncul dan hinggap di cabang rendah agar aku bisa mengamatinya, atau bila perlu aku harus menangkapnya.
Tidak ada harapan, sehingga aku duduk saja di salah satu akar besar yang menyembul dari permukaan tanah. Suasana tiba-tiba hening sekali, angin pun tak bertiup. Aku merasa itu bukan berarti apa-apa, sehingga aku bangkit untuk menghampiri akar-akar gantung yang biasa dipakai teman-teman bergelantungan ala Tarzan.
Suara keresak dedaunan membangkitkan rasa takutku. Aku mencari asal suara dan menemukannya. Jika kau menderita sakit jantung atau yang semacamnya, apa yang aku lihat saat itu mungkin akan membuatmu mati di tempat. Aku melihat ular paling besar yang pernah ada, lebih besar dari batang pohon kelapa. Warnanya hijau gelap dengan bintik-bintik hitam. Entah dari mana datangnya, ular itu merayap pelan dua meter di dekatku. Mahluk ini sangat panjang, lebih panjang dari ular phyton paling panjang yang pernah muncul di TV. Aku tak mungkin repot-repot memperkirakan panjangnya karena saat itu seluruh syarafku diserang kengerian yang luar biasa.
Seolah tak menyadari keberadaanku, ia merangkak naik ke atas pohon. Mahluk ini tergolong sangat lincah jika dilihat ukurannya. Aku masih sering merinding bahkan untuk membayangkannya saja. Pengalaman itu mengerikan—aku memberitahumu—sangat mengerikan.
Berdiri mematung dengan sekujur tubuh gemetar sama sekali tidak menyenangkan, namun apa yang selanjutnya kulihat mungkin akan membuat kau amat takjub. Setiap petak kayu dan akar yang dilalui ular itu mendadak bergetar, meliuk-liuk dan melekuk-lekuk sampai berubah menjadi tangga yang sangat unik. Ajaib. Aku hanya memandanginya, tentu, mana mungkin aku menaikinya begitu saja.
Pada akhirnya, tentu saja aku menaikinya. Cerita ini pasti akan membosankan jika saja saat itu aku memutuskan untuk kabur dan lari tunggang langgang. Ini karena nenek itu, ya nenek itu berdiri di sampingku setelah muncul begitu saja dari udara, tubuhnya di balut daun-daun pisang kering sebatas lutut. Wajahnya memang sangat keriput, begitu keriputnya sampai kedua matanya nyaris tak nampak. Namun ia memandangku—dengan pandangan yang sangat tajam. Ibuku pernah menyebut nenek ini bernama Dadong Jagal. Ia sering menculik anak-anak dari orang tua mereka yang lengah untuk mengembalikannya setelah beberapa saat. ‘Beberapa saat’ ini sama saja dengan berhari-hari di dunia manusia.
Ia meraih tanganku tanpa berbicara, tangannya agak kasar. Aku memerhatikan rambutnya yg gimbal tak terurus. Kata ibuku lagi, para Dadong Jagal tak pernah keramas selama hidupnya, mereka tak begitu suka air dan tak mengenal sisir.
Seakan terhipnotis, aku melangkah bersamanya, menaiki tangga kayu. Ular raksasa itu sekarang hanya terlihat ekornya saja, sebagian besar tubuhnya telah menghilang masuk ke dalam lubang besar di tengah pohon.
Setelah sampai di atas aku tak menemukan lubang, namun pintu masuk berukir yang sangat indah. Nenek keriput itu menuntunku pelan, meski tangannya yang berkulit kasar menyakiti pergelangan tanganku.
Kami sampai di ruangan lebar berdinding kayu dengan kursi-kursi mungil yang banyak sekali, berjejer sampai ke atas. Sulit dipercaya, ruangan dalam pohon ini jauh luas dari semestinya. Kursi itu diduduki mahluk-mahluk pendek coklat dengan rambut gimbal, mirip dengan nenek yang kini mengajakku duduk. Mereka semua memakai pakian kulit pisang serupa.
Aku mengamati salah satu mahluk berambut gimbal yang duduk di sebelahku. Ia lebih pendek dariku, kaki-kakinya bahkan tak menyentuh lantai. Wajahnya seperti kebanyakan orang, tidak sekeriput nenek yg mengantarku ke mari, mungkin yang satu ini masih anak-anak. Tapi serius loh, ia mirip sekali dengan salah satu adik kelasku, namun wajah berikut seluruh tubuhnya sangat kotor, penuh debu dan coreng moreng—seolah ia tak pernah mandi sejak lahir. Mahluk ini sedang mengunyah batu bata merah.
Aku memandang ke segala arah lagi dan semakin takjub. Mendadak perasaan nyaman menghampiriku. Bau harum yang manis menguar di ruangan, seolah ada yang membakar gula-gula di suatu tempat. Aku mendongak, ular raksasa itu kini melingkari batang kayu tinggi di atas ruangan, ia sedang memakan buah mangga besar setelah mengupas kulitnya. Tepat di atasnya, cahaya mentari menerobos masuk di antara celah-celah kayu, membentuk pilar-pilar panjang yang menyilaukan. Ada banyak semak berbunga kuning meleret di dinding bagian atas, juga akar-akar gantung yg dikepang. Aku merasa berada di tengah ruang kerajaan yang menyenangkan sekali. Sulit dipercaya, aku sempat begitu ngeri beberapa menit yang lalu.
Beberapa mahluk berambut gimbal di belakangku berbisik-bisik seru, mereka tampak tua dengan wajah keriput dan menggelambir. Aku merasa mereka adalah para tetua adat yang ngobrol sebentar sementara menunggu rapat di mulai. Aku tak memahami bahasa mereka, tidak sedikitpun.
Sementara itu, nenek yang mengantarku menghilang dari pandangan, belakangan aku tahu kalau ia berubah wujud menjadi seekor anjing coklat kumal dan berdiri di pojokan yang tak terlihat.
Aku sedang berpikir kenapa aku bisa berada di sana ketika sekelompok mahluk gimbal lainnya masuk membawa nampan kayu lebar dengan batu-batu bata menumpuk. Mereka memakai pakaian panjang terbuat dari kulit-kulit kayu, salah satunya menghampiriku dan menawari sebongkah besar batu bata. Aku mengambilnya dan meletakkannya di pangkuan tanpa bermaksud memakannya. Namun mahluk berewokan itu menunggu sampai aku menyicipinya, gumaman di bibirnya tak kumengerti.
Aku mengangkat batu itu dengan curiga, aku harus memakannya? Demi Tuhan, ini sama sekali tidak benar.
Pandangan tajam mahluk gimbal itu membuatku terpaksa menggigit sedikit. Dan… rasanya tidak begitu buruk. Kau tahu, batu bata itu terbuat dari tanah yang diliatkan, dicetak, lalu dijemur di bawah sinar matahari untuk kemudian dibakar dengan suhu tertentu. Tapi batu bata ini sangat asyik, kau pasti tak percaya, rasanya mirip gula aren, persis—manis, asam, meski agak pahit sedikit—mungkin karena dibakar terlalu lama. Aku mendadak sangat menyukainya.
Mahluk itu tampak puas dan meninggalkanku.
Rasanya berjam-jam itu aku hanya duduk di sana, menghabiskan batu bata rasa gula aren sampai sakit gigi. Kemudian mahluk gimbal pendek di sampingku mengajakku bicara. Pasti akan asyik sekali seandainya aku faham perkataannya, aku hanya mengangguk saja pura-pura mengerti. Setelah puas beramah tamah padaku—aku yakin maksudnya untuk berkenalan, namun aku tak ingat ia pernah menyebutkan nama—ia bangkit dari tempat duduknya dan mengajakku naik tangga menuju ke tempat-tempat yang lebih tinggi.
Sebelum kami meninggalkan tempat itu, aku sempat melihat mahluk gimbal lainnya memasuki ruangan. Yang satu ini sangat gemuk, rambutnya lebih panjang dari yang lainnya. Aku mengira dia lah pemimpin mereka, karena semua mendadak bangkit dari kursi mereka dan menyerukan sesuatu sebagai tanda penghormatan—setidaknya begitulah menurut anggapanku.
Aku dan sahabat baruku menaiki tangga yang dibangun di dinding. Kami membiarkan beberapa serangga serupa ngengat terbang di sekitar kami. Angin berhembus dari sela-sela kayu dan akar. Ular yang tadi menggelantung di batang kayu tampak sudah menghabiskan buah mangganya dan ikut bergerak mengikuti kami.
Beberapa menit kemudian aku sudah sampai di puncak pohon. Aku berdiri di salah satu dahan sambil berpegangan, udara sejuk menghempas pipiku lembut. Cahaya matahari siang menyilaukan mata, namun aku sangat bergairah.
Ular besar itu meluncur naik ke dahan yang lebih tinggi. Ia tampak lebih menyenangkan sekarang—itu karena aku tahu ia lebih doyan buah mangga ketimbang makanan-makanan lain yang lebih masuk akal.
Tepat di ujung dahan yang terlindung dari sinar matahari, berdiri seekor burung berekor panjang. Dengan jarak yang amat dekat aku mengamatinya. Aku tahu kesannya terlalu muluk-muluk atau bagaimana, namun binatang itu benar-benar ada di sana. Ia keren sekali. Seandainya aku membuat fotonya, aku pasti akan sangat terkenal. Foto itu akan muncul di koran dan majalah, dan mungkin namaku akan diabadikan untuk menyebutnya. Tapi ingat, saat itu aku masih kecil sekali, aku tak memikirkan yang lain-lain kecuali perasaan bahagia yang menyenangkan. Aku merasa, tak peduli mimpi atau bukan, aku sedang berdiri di sana, titik.
Di atas pohon kami banyak bermain dan makan buah-buahan. Beberapa anak bahkan bergabung bersama kami. Akar-akar gantung menjulur dari atas dan berubah jadi ayunan lima detik setelah aku memikirkannya, kami pun bermain ayunan. Kami tak banyak mengobrol, hanya menghabiskan waktu dengan bermain permainan aneh, seperti melempar buah-buah kecil ke dalam lubang di antara pohon. Yang memasukkan nuah paling sedikit dihukum dengan menggosok punggung ular raksasa yang sedang menderita gatal-gatal. Setelah kelelahan, kami duduk saja sambil mengamati pemandangan di kejauhan, aku bisa melihat atap rumahku, bahkan ibuku yang sedang menjemur pakaian di halaman belakang.
*
Kedua orang tuaku bilang, aku menghilang cukup lama, benar-benar hilang tanpa jejak. Seluruh desa gempar, para polisi berseliweran dan semua orang dewasa dikerahkan untuk mencariku. Temen-temanku pun diinterogasi satu persatu, mungkin para polisi curiga mereka tak sengaja membunuhku dan mengubur jasadku di suatu tempat. Para warga bahkan mengubek-ubek sungai dari hulu ke hilir untuk menemukanku.
Akhirnya aku ditemukan tidur dengan kondisi menyedihkan di semak-semak dekat pohon beringin pada suatu sore enam hari kemudian. Rupaku hampir tak dikenali dengan banyaknya tanah dan daun-daun kering menutupi sekujur tubuhku. Ayahku pernah bilang, ia masih menyimpan gumpalan-gumpalan batu yang terselip di dalam mulutku.
Aku pun demam selama tiga hari. Ayahku memanggil dukun untuk meminta pertolongan. Dukun itu berhasil memprovokasi orang tuaku untuk melakukan upacara pemanggilan arwah, karena ia mengira salah satu dari ke sembilan arwah-ku masih terikat di suatu tempat. Tentu saja itu tidak benar, aku hanya kelelahan dan butuh istirahat.
Di desa dan sekolah aku mendadak sangat terkenal. Semua orang ingin tahu apa yang sudah terjadi padaku, bahkan guru-guru dan kepala sekolah ingin mendengar ceritaku. Aku pun dengan semangat menuturkan pengalamanku berkunjung ke dalam pohon beringin, mereka sangat terpesona mendengarnya. Yang paling mencengangkan, beberapa wartawan dari pihak surat kabar dan pertelevisian datang berbondong-bondong ke rumahku untuk melakukan wawancara. Kisah dan wajahku pun muncul di lembar-lembaran koran dan berita sekilas info di televisi. Itu adalah hal-hal di masa kecilku yang tak bisa kulupakan.
*
Hari ini aku mengunjungi pohon itu lagi. Aku sudah berumur dua puluh satu tahun, sedang mengikuti pendidikan di salah satu perguruan tinggi di kota. Saat liburan tiba, aku selalu pulang ke rumah dan menyempatkan diri berkunjung ke pohon favoritku. Namun seperti apa yang kuyakini, keajaiban tak datang dua kali. Aku mengunjungi pohon ini hampir seratus kali sejak peristiwa menakjubkan itu, namun aku tak melihat burung berekor panjang lagi. Aku tak bertemu nenek berwajah keriput atau anak-anak pendek berambut gimbal pemakan batu bata.
Seminggu setelah liburan aku pun pamit pada orang tuaku dan berangkat ke kota. Aku melajukan sepeda motorku pelan melewati jalan tanah yang membelah area persawahan, kemudian menerobos jalan aspal yang menuju ke bukit. Ketika aku berbelok di tikungan miring dekat sungai, aku melihatnya. Sosok nenek berdiri di dekat semak-semak dengan lapangan kecil di belakangnya, Seketika aku menghentikan sepeda motor karena kaget. Nenek berwajah keriput itu memandangku dengan mata kecilnya yang tersembunyi.Ya aku masih ingat betul tatapan itu.
Hanya lima detik saja kami bertatap-tatapan, sebelum ia melangkah mundur dan menghilang dari pandangan. Kemudian aku melihat seekor anjing coklat muncul dari dalam semak di belakangnya dan berlari menyeberangi lapangan. Aku memandang hewan itu bergerak ke barat, mendekati pohon beringin raksasa di bawah langit sore yang sangat menawan.
***
©I.B.G. Wiraga
Follow me on Twitter @ibgwiraga
Baca komentar-komentar untuk cerita ini di Kemudian.
Batu bata gula aren … gigiku sampai ngilu membayangkannya, hahahah XD
sisanya … wew, this story is just so magical 😀 keren, Mas Hege, hahahah XD dan itu Dadong Jagal, asalnya dari “kepercayaan” di Bali ya?
Wow Thank you. Iya Dadong Jagal itu semacam jin yg menghuni hutan-hutan dan kebun, masyarakat Bali percaya Dadong suka nyulik anak-anak.
Saya suka cerita ini… Pertama saya cuma pengen baca sekilas karena naskahnya panjang banget, tapi semakin ke bawah semakin menarik, dan akhirnya saya baca sampai selesai.
Buat yang suka cerita imajinatif kaya Harry Potter, Goosebumps, dan semacamya, pasti suka deh baca cerita ini..
Good job, kak. 🙂