“Hm…” Doni menghirup aroma masakan yang menguar dari dapur sambil merem. “Oh ya, sampai dimana kita tadi?” Mendadak matanya kembali fokus.
“Kau lapar?” tanya Ben yang duduk di seberangnya. “Ibuku sudah menyiapkan masakan, makan yuk!” ajaknya, “kita bisa melanjutkan diskusi ini nanti saja, bagaimana Don ?”
“Tidak usah, terimakasih. Aku baru saja sarapan,” kata Doni buru-buru.
“Ya sudah kalau tidak mau. Eh, tadi kau mau bilang sesuatu, apa ?”
“Aku baru ingat, suatu hal yang memalukan !” gumam Doni kritis.
“Apanya? Oh, saat cewek-cewek tertawa karena kamu lupa menaikkan resleting celana?” Ben menebak dengan santai,” jangan terlalu dipikirkan, namanya juga musibah!”
“Bukan yang itu! Mata Pak Widodo melotot ketika aku salah menjawab pertanyaannya, kemarin di kelas.”
“Dosen yang sok dan usil itu?”
“Siapa lagi, kau kan di kelas yang sama, Ben! Pak Widodo mendadak melemparkan pertanyaan padaku, apa yang dimaksud dengan kwashiorkor. Aku pun menjawab bahwa itu adalah defisiensi Protein dengan ciri-ciri berhentinya pertumbuhan, kulit kisut, busung perut, lisut otot dan pembengkakan karena tumor. Nah yang terakhir, ternyata yang benar adalah pembengkakan karena edema—banyak mengandung air,” ceroscosnya.
“Tidak begitu parah, kan?”
“Kau juga parah Ben, seharusnya kau jawab marasmus itu kurus karena kurang protein bukan alkohol,” ujar Doni sengit.
Ben tertawa, ”kenapa begitu dipermasalahkan. Lagipula aku sengaja, asyik juga memainkan emosi dosen yang satu itu!”
“Sengaja? Sulit dipercaya–Eh, Theo… sejak kapan kau di situ, sini!” Seseorang dengan rambut keriting dan kaos kedodoran berdiri di depan pintu. Kemudian ia berjalan mendekat dan mengenyakkan diri di kursi sebelah Doni.
“Kakak … berangkat ke… apa namanya…?”
“Kampus,” Doni membantu. “Iya, hari ini kita kuliah dulu, Theo.”
“Ku… kira libur…” gumam Theo kecewa.
“Eh Ben, kemarin di jam terakhir pak Widodo menyebut-nyebut ‘Efek Plasebo’, sebenarnya apa artinya?” tanya Doni untuk mengalihkan perhatian Theo, karena biasanya anak itu senang mendengarkan percakapan orang lain, lagi pula dari kemarin malam Doni memang penasaran dengan istilah itu.
“Artinya, dimana peran keyakinan kepada seorang dokter sangat berpengaruh pada pulihnya kesehatan pasien, meskipun obat yang diberikan oleh dokter lain sama,” jawab Ben.
“Oh begitu… efek yang ajaib!” kata Doni, mengecek arloji. “Astaga Ben, sudah pukul delapan, kita harus bergegas!” teriak Doni panik, memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. “Theo, kami berangkat dulu,” tambahnya lalu beranjak.
Ben bangkit sembari menepuk pundak sang adik lantas pergi menyusul temannya. Theo memandang mereka dari jendela, melewati batang dan daun pohon-pohon bayam yang tumbuh di halaman, keduanya berlari kecil mendekati mobil yang terparkir di depan rumah.
Mereka sudah berada dalam mobil ketika Doni tiba-tiba berkata, “Sebenarnya dari dulu aku ingin bertanya sesuatu tentang… Theo…”
“Tanya saja!” Ben menatap kawannya.
“Kenapa …Theo tidak sekolah?” tanyanya sambil menghidupkan mesin mobil.
“Ya, kau tahu sendiri bagaimana keadaannya. Aku dan ibu ingin sekali Theo dapat melanjutkan sekolah seperti anak-anak lain. Sayangnya, tidak ada satu sekolahpun yang menerimanya kembali. Padahal ia pernah belajar sampai kelas tiga SD, tapi karena sakit ia berhenti, jadi seandainya Theo dapat terus sekolah, sekarang seharusnya ia sudah kelas tiga SMP. Tapi sejak sakit itulah keadaannya menjadi begitu,” kata Ben sedih sementara Doni memasukkan gigi.
“Alangkah baiknya jika kau tetap bersyukur, kan? Walaupun Theo tidak dapat melanjutkan sekolahnya, paling tidak kau bisa meneruskan kuliah, sementara itu kau bisa terus menjaganya,” kata Doni, menginjak pedal gas dan mobil mulai melaju.
“Sudah seharusnya aku bersyukur, kalau bukan karena beasiswa dan hasil dari menulis, mana mungkin aku dapat kuliah di Fakultas Kedokteran sepertimu. Kau kan tahu aku hanya punya Theo dan ibu yang bekerja kecil-kecilan demi keluarga,” gumam Ben, tersenyum pada sahabatnya. “Aku juga sangat berterima kasih atas tumpangannya selama ini.”
“Seperti di film saja, apa sih gunanya sahabat?” sahut Doni kalem. “Eh, satu lagi…‘Theo’ kenapa aku baru sadar ya, nama adikmu aneh, nama asli?”
“Tentu saja tidak! Ceritanya begini, saat adikku berumur tiga tahun, kami punya tetangga baru—dan sekarang sudah pindah. Nah, mereka sering main ke rumah. Anak sulung tetangga baru itu yang namanya Elitha suka sekali menggendong adikku dan dia sering memanggilnya ‘Theo’ entah apa artinya, aku tidak tahu. Hati-hati Don ada yang menyeberang! Akhirnya, sampai sekarang dia lebih suka dipanggil Theo. Ngomong-ngomong, aku juga dikasi nama aneh oleh Elitha…” kata Ben dan Doni memasang tampang sangat ingin tahu, “Dodo…”
Doni tertawa demikian keras sampai menghentikan mobil di pinggir jalan, “Itu nama paling konyol yang bisa dipikirkan orang. Kalau begitu… mulai sekarang aku akan memanggilmu Dodo…”
“Terserah, kau menyebutku iguanodon juga tidak masalah, yang berarti tak ada lagi bisikan jawaban di kelas pak Widodo,” Ben mengancam.
“Oke Bendi,” gumam Doni menaikkan alis. “Eh iya, soal pak Gundul. Aku melupakan satu hal, apa ya nama kelainan tubuh kerdil?” tanyanya panik.
“Kretinismus, ” jawab Ben santai.
“Itu dia, terima kasih. Uh… siapa tahu pak Botak menanyai aku lagi hari ini,” kata Doni cemas dan Ben menggeleng tak percaya.
*
“Theo… bisa bantu tidak?” tanya wanita itu. Keringat yang membasahi tubuh dan matanya yang sayu melukiskan seseorang yang teramat letih. Ia mendekati anaknya yang paling bungsu dengan dua rantang besar di masing-masing tangan. “Sudah pukul sebelas pak Komang belum datang padahal pesanan ini harus segera diantar,” beliau mengambil handuk dan membersihkan wajahnya. “Sebaiknya kita saja yang mengantar, dari pada yang memesan marah-marah.”
“Theo akan… membantu… bu,” kata anak itu patuh.
Ibunya menyerahkan salah satu rantang kepada Theo seraya berkata, “kau memang anak baik. Nah, kalau begitu berikan ini kepada keluarga bu Asri! Kau tahu kan rumahnya?”
Theo mengangguk. “Rumah… ada… pohon mangga besar, kan?”
“Betul. Nah, sekarang kamu berangkat dan hati-hati!”
Theo kini tengah melangkah di trotoar yang di sana-sini sudah berlubang dan ia beserta rantangnya hampir saja terpelosok ke dalam parit karena asyik mendongak melihat layang-layang. Rumah yang dituju sudah ia kenali walaupun masih jauh. Itu bukan hanya karena ada pohon mangga di dekat pintu gerbang, tapi juga karena rumah bu Asri satu-satunya yang bertingkat tiga di wilayah itu.
Theo sedang memasuki pintu gerbang rumah itu ketika seekor kucing loreng mengeong dan melompat ke arahnya yang pastinya karena membaui ikan, sementara satu kucing lagi yang berwarna coklat berlari melintasi halaman, meloncat ke bawah kursi yang diduduki seorang pria dengan koran terbentang di depannya.
Theo berjalan mendekat, mengabaikan si kucing loreng yang mengeong ribut di kakinya.
“Permisi,” sapanya ramah kepada si tuan rumah.
Bapak itu menoleh sebentar untuk mengecek, lalu kembali membaca koran seolah yang tadi bersuara adalah salah satu dari kucing.
“Politisi busuk…!” geram pria itu, “tidak pantas…orang-orang seperti itu menduduki pemerintahan, asal bicara lalu bikin ulah di belakang! Goblok!”
“Apanya… yang busuk, pak?” tanya Theo tidak mengerti. Pria itu menoleh dan memandangnya dengan sinis.
“Kepalamu yang busuk! Ngapain kamu ke sini?” Akhirnya Theo mendapat sambutan, walaupun tidak hangat sama sekali.
“Mengantar… ini…” Theo mengangkat rantangnya.
“Cepat bawa ke dalam kalau begitu! Tak usah bertingkah seperti tamu ya! Taruh dan pergi!” bentak pria itu.
Theo—dengan pasrah—melangkah memasuki rumah yang berlantai marmer dan pria itu mulai mengumpat-umpat korannya lagi.
Ia berjalan di ruangan yang sangat bersih yang menurut pandangannya agak kurang wajar. Ketika Theo sedang mengagumi sebuah lukisan bergambar buah-buahan di dinding ruang tamu, seseorang menabraknya dengan begitu keras, tapi syukurlah rantangnya berhasil ia selamatkan.
“Hei, kalau jalan jangan melamun! Astaga, gembel masuk rumah…” teriak gadis berpakaian SMA itu. Theo mengangkat rantangnya. “Ups, orang gila pengantar makanan? tidak ada bedanya!” Setelah berkata seperti itu ia pergi, Theo memandangnya keluar ruangan dan menghilang.
Agak bingung, Theo berjalan semakin ke dalam dan sampai di dapur yang dihuni berbagai macam barang elektronik. Ia bertemu dengan seorang wanita tua yang sangat gendut—bu Asri tentunya.
“Sangat terlambat…!” kata wanita itu. “Untung dari dulu kita sudah berlangganan, kalau tidak, aku bisa memilih tempat yang lain, yang masakannya jauh lebih enak, tentu saja!”
Theo menyerahkan rantang itu. “Permisi bu, saya pulang dulu,” katanya lalu berbalik. Ia bisa mendengar wanita itu berkata keras-keras di belakang beberapa detik kemudian.
“Aduh, Sudah kubilang padanya, sambalnya jangan terlalu pedas, tuli apa tolol, sih?”
Theo yang masih belum mengerti kenapa bu Asri berteriak-teriak sendiri, berjalan sampai di depan rumah dan seperti tadi, memiliki maksud baik—berpamitan kepada si tuan rumah yang satunya.
“Tukang bual, omong saja begitu, sudah jadi presiden mulai deh keluar belangnya!” gumam suami bu Asri.
“Permisi pak, saya pulang dulu…” kata Theo ramah.
Pria itu menurunkan korannya, wajahnya sangat merah. “Hei, orang gila, idiot, kalau pergi, pergi saja! Oh…kenapa aku meladeni orang sinting… sana! Sana!” pria itu mengusir dengan mengayun-ayunkan tangannya.
Merengut, Theo melangkah keluar menuju trotoar dan beranjak pulang.
*
“Seperti yang tadi pagi kuramalkan, kan? Lagi-lagi aku keliru!” gumam Doni merana sembari merapikan tumpukan buku di atas meja seolah itu penting untuk menentramkan jiwa. Ben menoleh Doni yang sekarang mengacak-acak rambut karena frustasi.
Sementara itu, Theo bengong di samping jendela, matanya menatap kosong awan-awan sirus yang berwarna semakin ungu di langit senja, rambut keritingnya terlihat semakin rumit karena sudah seminggu tidak disisir.
“Ingat saat kau minta ijin ke toilet tadi siang, pak Widodo menanyaiku lagi. Walaupun aku tahu kretinismus adalah kelainan tubuh kerdil, ia menyuruh aku menjelaskannya. Kau tahu apa yang kujawab? Seharusnya aku bilang ‘akibat kurang berfungsinya kelenjar gondok sejak masa anak-anak atau masih janin’ dan yang kujawab ’kesalahan sang ibu saat ngidam.’ Entah dimana aku mendapat keterangan macam itu, memalukan!”
Sebelum Ben sempat berkomentar, Theo mendadak bertanya kepada kakaknya tentang sesuatu yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan kelainan orang cebol.
“Kak, boleh… aku tanya… sesuatu?”
Karena tidak biasanya Theo menyela percakapan orang lain, Ben mengangguk.
“Kak, apa sih… gembel?”
“Di mana kau dengar kata itu?” Ben balik bertanya, penasaran.
“Saat mengantar… makanan ke langganan, anak bu Asri bilang… aku gembel!” kata adiknya polos.
“Tidak ada yang namanya gembel, Theo! Hanya orang tak tahu diri menyebut-nyebut itu. Kau tidak usah memikirkannya!” kata kakaknya dan Doni memandang dua bersaudara itu bergantian sambil menyisir rambut dengan jari.
“Bapaknya bilang sesuatu… yang busuk pada… korannya, kalau tidak salah… seperti… polisi… tapi… setelah kutanya, dia bilang… kepalaku yang busuk…”
“Politisi busuk?” Doni membantu, Theo mengangguk.
“Orang seperti itu tak patut didengarkan. Tahu apa dia tentang politisi,” kata Ben. Theo memandang kakaknya dengan tatapan aku-sama-sekali-tidak-mengerti.
“Ya, Theo…kamu tidak usah menghiraukan, secuil pun jangan! Orang macam itu hanya pintar mengomentari, mereka sebenarnya tidak tahu apa-apa, asal ngomong.”
“Dan dia bilang… kepalaku busuk.”
“Theo, dengar! Apa pernah kakak, ibu atau kak Doni menyebut kamu seperti itu?” Ben memandang lekat-lekat adiknya. Theo menggeleng, akan tetapi dari matanya Ben tahu ia belum puas.
“Tapi…ia juga bilang aku idiot … gila …padahal… aku hanya… pamit,” kata Theo menunduk, “…pasti itu… ada artinya…”
“Theo, hanya orang idiotlah yang menyebut orang lain idiot dan hanya orang yang benar-benar gila yang menyebut orang lain gila. Jadi, kamu sama warasnya dengan kakak atau ibu dan kak Doni!”
“Oh, jadi… mereka yang gila…ya?”
Ben dan Doni saling toleh sebelum keduanya mengangguk. Theo kelihatan puas.
“Aku ke belakang dulu, kak, membantu ibu…” kata anak itu lagi. Ia bangkit dan berjalan meninggalkan mereka.
“Wah, sudah malam…aku pamit dulu ya Ben. Aku harus banyak membaca malam ini, siapa tahu Mr Bald menanyaiku lagi besok…Bye Ben…” Doni mengambil tas punggungnya lantas pergi. Ben memandang sahabatnya berjalan melewati pintu, tapi pikirannya masih dipenuhi pertanyaan-pertanyaan adiknya dan apa yang ia jawab atas pertanyaan itu.
Langit sekarang sudah tersulam menjadi permadani kelabu dingin, yang disepuh ribuan intan-intan kecil, sementara dalam dapur rumah itu masih saja gerah. Seorang anak bernama Theo dan ibunya merwarnai udara, menyibukkan diri dalam rutinitas biasa—menyiapkan makan malam. Ketika kerupuk terakhir sudah terangkat dari wajan, dengan agak geli anak itu berkata pada ibunya “Bu Asri… dan keluarganya… gila semua bu…ya!”
***
©I.B.G. Wiraga
Follow me on Twitter @ibgwiraga
Baca komentar-komentar untuk cerita ini di Kemudian.com