Plan B


20140212-234452.jpg

“JOHN, kau harus menolongku!”

“Apa yang bisa kubantu, sobat?”

Aku dan Johny duduk di bangku kebun depan kelas. Dosen sastra Inggris kami, pak Nelson mendadak harus pulang karena mengaku tidak enak badan—Johny yakin pria malang itu menderita diare—sehingga banyak mahasiswa berkeliaran meninggalkan kelas. Kawanan kutu buku melesat ke perpustakaan—johny salah satunya, tapi aku berhasil membuatnya absen. Dan sebagian besar anak lainnya nongkrong di berbagai sudut kampus atau makan di kantin.

“Kurasa, wanita jaman sekarang sudah bosan dengan kartu ucapan, kado, coklat, bunga apa lagi—puisi, bioskop, whew. Hadiah ulang tahun kali ini harus orisinil, bebas isu SARA, anti-rasisme, anti pornografi dan pornoaksi—ah, sisihkan dulu yang dua ini—Intinya, kau bisa beri aku ide?”

Johny menoleh, kebingungan menjalar sampai ke lehernya. “Ngomong-ngomong, siapa yang berulang tahun?” Ia bertanya.

Tangan kiriku mendarat di dahi, I couldn’t believe this. “Lima tahun kau jadi sahabatku…”

“Oh maaf, aku sedang membaca,” katanya mengernyit, “Otakku tidak sanggup menyerap banyak informasi sekali jalan.”

“Lalu, selama satu jam ini aku bicara dengan siapa?”

Cursed you John!

“Baiklah,” ujarnya, menutup halaman buku tebal Harry Potter and the Deathly Hallows setelah menyelipkan pembatas. “Ide pertama yang muncul di kepalaku adalah… kau bisa memberi Mitha beberapa judul novel sekaligus, kuanjurkan mulai dari chicklit, teenlit, metro-pop—”

“Demi langit dan Bumi.”

“Kenapa?” tanya Johny tambah bingung.

“Buku sudah masuk dalam daftar Hadiah-Ulang-Tahun-Paling-Membosankan- Untuk-Wanita-Jaman-Milenium,” tegasku.

“Tunggu sebentar,” gumam Johny berpikir, membulak-balik buku Harry Potter bersampul jingga di pangkuannya.

“Cari ide lain!” aku mendesaknya tak sabar.

“Ciuman,” ujar Johny nyaring. Ide itu melesat seperti meteor menembus kepalaku.

Aku memelototinya, otak berpikir keras. Ciuman? Lima detik berjalan, masih belum yakin. Tiga puluh detik, ragu-ragu. Satu menit, entahlah. Tiga menit. Cukup.

“Itu ide yang patut dipikirkan, John,” kataku sambil mengira-ngira kemungkinan dan peluang akan berhasil. “Tapi, kurasa ciuman dalam hal ini terlalu klise, dan kesannya seperti pria tak bermodal. Ciuman garis miring Hadiah-murah-meriah. OHO, aku tidak mau yang seperti itu, John!”

“Hadiah-mahal-meriah itu contohnya mobil Honda Jazz,” kata Johny serius. “Aku cuma bisa memberikan dua alternatif pilihan, Honda Jazz atau ciuman?”

Aku dihadang dua pilihan sulit, or is it that complicated?

“Dre, kenapa sih kau selalu membuat hal-hal sepele menjadi sangat rumit?”

He reads my mind.

“Mau tahu kenapa?” kutantang balik dia. “Karena orang yang menganggap hal-hal serius menjadi sepele adalah manusia masa bodoh. Ini sangat penting, John. Kami sudah pacaran selama enam tahun. Dan kau tahu, tahun lalu aku memberinya sekotak besar coklat asli buatan Swiss sebagai hadiah ulang tahun, sementara aku tidak tahu kalau saat itu ia sedang sakit gigi.”

Selama sekian puluh detik, John tak berkomentar apa-apa, ia malah melanjutkan bacaan fantasinya.

“Mau tahu gimana akhirnya nasib Harry Potter?” ujarnya di luar topik.

“Baiklah,” kataku mendesah, I’ve decision. “Aku akan memberinya ciuman seperti saranmu. Cukup romantis, tak peduli walaupun ini kesannya melacur diri. Atau meski ia sedang sakit gigi.”
*

“AKAN selalu terjadi hal-hal tak terduga,” gumam Johny yakin. Ia berkunjung ke rumah sore ini. Beberapa hari belakangan—seperti yang kucemaskan—Ia mendadak akrab dengan nenekku, mereka berdua terobsesi dengan buku-buku bacaan. Sungguh kombinasi ajaib. “Siapkan plan B!”

“Oke,” sahutku singkat. Plan B? Ya, aku sudah menyiapkan rencana kedua, tapi entahlah, mungkin terlalu klise.

“Kau harus berusaha ekstra keras untuk mendapatkan cinta seorang wanita, nak. Apalagi meluluhkan hatinya,” nenek nimbrung serius. Buku-buku baru yang dibawakan Johny untuk beliau ditumpuk di meja. “Nenek sudah berpengalaman puluhan tahun, tidak ada salahnya berkonsultasi, mulai dari surat-menyurat, menulis pantun, nyanyian, dan sebagainya. Oh ya, kakekmu—dulu sekali—membacakan puisi sambil menyerahkan seikat bunga kamboja saat meminang nenek, kau bisa bayangkan betapa romantisnya…”

Bunga kamboja? For heaven sakes, aku merinding. Sekedar info fakta pendukung, rumah kami memang tak begitu jauh dari TPU. Kakekku ternyata lebih dari sekedar tak bermodal.

“Andre sudah pacaran dengan gadis ini selama enam tahun, nek,” kata Johny terkekeh. Aku mendeliknya tak percaya, seolah ia baru saja membeberkan rahasia gembong mafia kepada FBI. “Namanya Mitha Ardhani.”

Lengkap sudah.

“Enam tahun?” komentar nenek tak percaya, beliau mulai memeriksa judul-judul buku setelah memakai kaca matanya yang dua kali lipat lebih tebal dari kaca mobil. “Kakekmu mempersunting nenek seminggu setelah kami memadu kasih. Enam tahun kemudian kami sudah punya lima anak.”

Aku dan Johny bertukar pandang.

“Bagaimana ciumannya, Andre? Sudah siapkan berapa jurus?” tanya Johny berbisik. Syukurlah pendengaran nenekku tidak begitu baik, kalau tidak, coba bayangkan apa komentar dan sarannya tentang ini? Teknik ciuman jaman kolonial? Eakh…

“Entahlah,” kataku, mengecek arloji, lima menit lagi aku akan berangkat. Nenek—sementara itu—sibuk mengomentari satu judul buku yang belum pernah dibacanya. “Aku hanya akan mengandalkan insting.”

“Sukses ya, broda!” kata Johny ketika aku bangkit. “Aku akan menyusul nanti, titip salam buat Mitha.”

“Yep.”

Show time, jantungku berdebar-debar.

“Jangan lupa bawa bunga kamboja,” Nenek menambahkan ketika aku meraih gagang pintu.
*

ULANG tahun Mitha dirayakan secara meriah di rumahnya, perumahan Asri gang 5 B no. 23. Mitha—memakai gaun terbaik yang dimilikinya—berdiri di sekeliling teman-teman berwajah ceria. Orang-orang menjulurkan tangan kepadanya dengan ucapan basa-basi selamat ulang tahun, semoga panjang umur, murah rezeki, enteng jodoh, dan sebagainya, dan seterusnya, dan lain-lain.

Orang tuanya—sementara itu—sibuk mengurus para tamu yang sebagian besar terdiri dari anak-anak tetangga di bawah umur berikut orang tuanya. Mitha memiliki kecenderungan menyukai anak-anak, itu yang kukagumi dari dia. Terlebih dari itu, ia manis dan anggun—aku tidak memakai istilah cantik dalam hal ini. Setidaknya, itu yang dicerna mata dan otakku.

John datang dua menit sebelum acara di mulai, kami sempat berbincang-bincang di beranda sambil menunggu tuan rumah menyiapkan tumpeng kuning kerucut setinggi lima puluh senti dan kue tart tumpang tiga. Anak-anak tetangga beserta orang tuanya telah menjejali rumah mungil itu.

Bukan tempat ideal untuk melancarkan aksi ciuman, bisik John terkikik.

Pukul tujuh malam, Mitha meniup lilin berbentuk angka sembilan belas dengan senyum mengembang, sesekali melirikku. Nyanyian ‘Happy Birthday To You’ berkumandang, sebagian besar asal suara dari anak-anak. Mitha memotong kue tart sementara aplaus memeriahkan suasana. Akhirnya, setelah dua potong kue ia berikan kepada orang tuanya, perhatian warga Perum Asri mulai tercurah padaku, Mitha mendekatiku seraya mengulurkan potongan kue yang ke tiga. Oh oh … dia menyuapiku.

Singkat cerita, sudah dulu tetek bengek ritual pesta ulang tahun yang berabad-abad silam diimpor dari Eropa. Pukul sembilan malam, kami akan punya pesta sendiri, jauh dari keramaian, jauh dari anak-anak yang menangis pingin pulang atau mengompol di celana.

Pesta kami berupa makan malam berdua di pantai Kuta. Aku sudah menyiapkan ini dari jauh hari. Kupesan tempat terbaik dengan pemandangan malam pantai berpasir putih.
Kami menyantap makan malam sambil lirik-lirikan. Seperti pasangan yang baru saja jadian, segala sesuatu terasa kikuk dan memalukan. Aku sendiri kurang yakin kalau kami sudah melewati enam tahun bersama. Rasanya, cinta monyet kami sudah berkembang agak lebih jauh, lebih serius. Namun setelah rentang waktu tersebut, jangan tanya kejadian apa saja yang datang menguji.

“Selamat ulang tahun ya,” kataku saat kami meninggalkan restoran. Mitha menoleh dengan senyum lebar menghias wajahnya.

“Kau sudah mengucapkannya lima belas kali sepanjang hari ini,” ujarnya mengingatkan.

Hehehe…

Aku terus mengamatinya saat kami berjalan. Rambut panjangnya yang ditata agak ikal, berayun-ayun diterpa angin pantai, oh aku ingin sekali membelainya. Kenapa ya setiap hari dia terlihat semakin manis saja?

Kami melangkah menuju pantai dan berjalan beriringan di pesisir. Laut mendesah, tenang. Langit malam amat bersahabat, lumayan cerah dengan bulan sabit bergantung di antara barisan awan tipis. Bintang-gemintang berarak menakjubkan di sepanjang mata memandang namun beberapa kilometer di langit timur onggokan awan gelap tampak agak mencemaskan, sorotan lazer dari wilayah perhotelan berusaha mengusirnya. Kemudian, aku menerawang ke laut, cahaya-cahaya lampu kapal di kejauhan berkerlap-kerlip menyedapkan suasana malam dan … STOP! Aku di sini untuk membuat Mitha terkesan di hari ulang tahunnya, bukan mendiskripsikan pantai Kuta di malam hari!

“Ada yang kau pikirkan Andre, sayang?” Ia bertanya, mengamatiku.

Ya tentu saja aku sedang berpikir. Aku sedang mencari-cari momen yang tepat untuk memeluk dan menciummu.

“Aku memikirkanmu,” kataku, meraih tangannya.

Okay, I can do this. Yang harus kau lakukan adalah menatap matanya dan ucapkan kata-kata itu, buat dia tersenyum bahagia. Come on Andre, kau sudah memikirkan skenario ini selama tiga hari tiga malam atau sama dengan tujuh puluh dua jam atau detilnya empat ribu tiga ratus dua puluh menit. Do it now!

“Aku sangat menyayangimu,” kataku akhirnya. Di dalam bathin, aku sedang mengutuk diri.

“Aku juga sangat menyayangimu,” kata Mitha, tersenyum. “Dan kau mengatakannya hampir di setiap kali kita bertemu, kau ingat?”

Itu memang benar. Payah, kenapa aku malah mengucapkan hal-hal yang basi di saat genting seperti ini?

Aku berhenti di depannya, meraih kedua tangannya dan menatap matanya. Kami diam dalam posisi itu selama beberapa detik. Mulutku terkunci.

“Ada yang ingin kau ungkapkan lagi, Andre?” gumam Mitha, semenit telah berlalu.

Ya aku akan berkata, bahwa kaulah satu-satunya orang yang kusayangi melebihi apapun di dunia, dan bahwa aku tidak bisa membayangkan harus hidup tanpamu, dan kaulah pelabuhan terakhirku, dan kaulah sinar yang menerangi hidupku dan kaulah rumah tempatku berteduh, tiang tempatku bersandar, dan dunia tempatku merengkuh kebahagian. Ya itulah yang ingin kuucapkan sekarang tepat di hadapanmu.

Mitha gelisah menunggu, ia terus mengamatiku, ia penasaran dengan mimik wajahku.

“Selamat ulang tahun,” hanya itu yang keluar dari mulutku.

Mitha tertawa.

Oh my Goodness.

Kami melanjutkan perjalanan, aku semakin mengutuk diri, kenapa susah sekali sih?

Sepuluh menit kemudian—setelah pergolakan pikiran yang panjang dan melelahkan—kuambil keputusan. Aku menghentikan langkahnya lagi karena ini belum terlambat dan tidak terlalu parah. Kupandang dia sementara tanganku menyelinap ke saku jaket untuk mengeluarkan boks hijau kecil lapis beludru. Dengan hati-hati, kubuka dan kuperlihatkan seuntai kalung perak dengan liontin batu cempaka. Dia hanya tersenyum saat aku memakaikan kalung itu di sekeliling lehernya. Aku tak bicara, dia pun membisu. Keheningan ini sangat berarti.

Musik hip hop dari arah kafe di kejauhan mendengung-dengung dengan nada tak karuan. Syukurlah, pantai di sekitar kami tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pasang bule berlalu lalang. Aku meraih wajah Mitha, ia tampak pasrah namun kurasakan kebahagian di matanya. Tak tahan hanya berpandang-pandangan atau saling memberikan senyum, kudaratkan ciuman yang hangat di keningnya. Yeah, that’s all I need to do.

Tahukah kalian, aku sangat lega dengan tidak mengungkapkan kata-kata konyol itu. Tiang tempat bersandar? Pelabuhan terakhir? Oh tidak-tidak, semua itu sangat berlebihan dan lebih parah dari klise. Bunga kamboja pun terdengar lebih tulus dari itu.

Thanks for Plan B.

***

©I.B.G. Wiraga

Follow me @ibgwiraga

 

Baca komentar-komentar untuk cerpen ini di Kemudian.com

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s