Untuk Memperingati Hari Monster – 26 January
Pada suatu hari di negeri para monster, dua monster gemuk bersaudara memasuki pintu berukuran raksasa. Boks neon besar bercahaya pucat dengan tulisan “Monster’s Bar, Just for Monsters!” bertengger miring di atasnya. Kedua monster ini berjalan serampangan menuju sudut ruangan, meninggalkan jejak kaki berlendir di lantai.
Bar-bar dan diskotik di manapun di negeri itu sedang sepi pengunjung. Di Monster’s bar hari ini hanya dijejali enam atau tujuh monster bertanduk. Kebanyakan rakyat sipil negeri monster bersembunyi di rumah atau gua saat malam hari tiba, negeri mereka sedang dilanda krisis multidimensi.
“Ini sungguh mengenaskan, Zchuib,” gumam salah satu monster yang baru saja memilih tempat duduk, ia memandang ke sekeliling, ruangan bercahaya remang-remang itu terasa sunyi sekali. Kawannya mengerjapkan ketiga matanya bersamaan dan bersendawa.
Kedua monster ini adalah monster bertampang paling menjijikkan yang pernah ada. Kulit mereka seperti terbuat dari lilin hijau yang hampir mencair berikut duri-duri gemuk di sekujur punggung. Mereka memiliki kepala besar tak proporsional dengan posisi mata, mulut dan hidung berantakan. Dua lengan mereka yang gempal pendek dan kaku berukuran tak sama di kiri-kanan. Jari-jari mereka pun hanya empat saja di setiap tangan, beberapa jari itu buntung dan lengket.
Salah satu pelayan monster dengan wujud yang tak kalah menyedihkannya datang kepada mereka, membawakan pesanan dua gelas kayu berukuran besar yang dipenuhi minuman gobra (merupakan hasil fermentasi darah kerbau)
“Kita semua mengenaskan, ZeZe,” gerung Zchuib meraih gelasnya dan minum, sebagian isinya tumpah ke badannya yang bengkak penuh bisul. “Aku rindu masa-masa di mana HAM (Hak Asasi Monster) ditegakkan seadil-adilnya. Belum pernah jalanan di malam hari bisa sampai selengang ini.”
“Iya,” sahut kawannya pelan, minum gobra-nya habis sekali tenggak. “Tapi bisa kau pelankan suaramu sedikit! Mereka ada di mana-mana, para mata-mata itu!”
“Ah sejak kapan kau takut sama mereka,” ujar Zchuib santai. “Mahluk-mahluk kecil menjijikkan yang disebut manusia itu. Kau lihat cara mereka makan? Aku heran bagaimana mereka melahap daging hewan dengan merebus atau menggorengnya. Yang aku tahu semestinya mereka memakan rumput mentah.”
“Manusia banyak sekali saat ini, Zchuib sayang. Ada di mana-mana dengan senjata yang meledak-ledak di ujungnya. Kita harus hati-hati!” kata ZeZe melirik ke sana ke mari. “Izib bahkan sulit menemukan kerbau di manapun di gunung, para manusia menangkap mereka semua dan mengurungnya di semacam tempat, mereka menyebutnya kandang, kurasa.”
“Kandang?” tanya Zchuib menggeleng, tak percaya mendengar kabar ini. “Para manusia itu tak hanya saja mencuri makanan kita, tapi juga kebudayaan kita.” (kandang adalah sebutan untuk bangunan istana di negeri para monster, dahulu kala, lama berselang—sebelum para manusia datang dan merebut kekuasaan)
“Raja kita, Perzekouloth, kira-kira bagaimana nasibnya?” tanya ZeZe hati-hati.
“Para manusia pasti telah mengulitinya dan mengubahnya menjadi dendeng,” ujar Zchuib yakin. “Perzekouloth yang malang, salahnya mau menandatangani surat kerja sama dengan manusia—mahluk-mahluk yang sulit dipercaya, tengil dan licik.”
“Iya benar, sekarang rakyat sipil menjadi korban,” kata ZeZe sedih. “Aku mau membakar diri saja sebelum para manusia memasak dagingku menjadi sup.”
“Jangan putus asa begitu, ZeZe!” geram Zchuib tajam. “Kita akan melakukan gerilya, inilah yang disebut perang sipil, kita akan menegakkan keadilan. Manusia harus dimusnahkan dari negeri tercinta ini, jangan biarkan mereka membuat lebih banyak kandang lagi! Kita harus melakukan tindakan nyata.”
“Tunggu sebentar, Zchuib sayang!” bisik ZeZe mengingatkan. “Kurasa tak bijaksana merencanakan hal-hal seperti ini di ruang publik, para manusia bisa mendengar, dan celakalah kita!”
“Diamlah kau, ZeZe! Jangan paranoid seperti itu!” geram Zchuib. “Apa kau sudah kehilangan instingmu seperti kebanyakan monster belakangan ini? Monster sejati dilahirkan untuk tidak takut terhadap apapun!”
“Kita ditetaskan, Zchuib sayang! Ditetaskan!” protes ZeZe buru-buru.
‘Makanya!” ujar Zchuib. “Banggalah karena kita sudah ditetaskan!”
“Aku tahu,” kata ZeZe akhirnya. “Ya, aku tahu…”
Tepat saat itu sosok-sosok pendatang memasuki ruangan. Mereka adalah tiga manusia berpakaian tuxedo lengkap dengan gelang bercahaya di masing-masing tangan. Gelang-gelang itu dilengkapi tombol yang bisa dipencet jika bahaya mengancam mereka, maka sinyal akan terkirim ke departemen keamanan, untuk beberapa detik saja satu pleton pasukan di atas helikopter akan muncul di udara dan memusnahkan semua monster yang tampak di sekitar mereka.
Semua monster bergeming, membisu, ngeri. Banyak yang bersembunyi di bawah meja dengan tubuh gemetar. Namun Zchuib bertahan di kursinya dengan memasang tampang cuek. ZeZe hampir saja menyelinap ke bawah meja sebelum Zchuib membuatnya duduk kembali.
Ketiga manusia itu mendatangi mereka.
“Hey lihat ada dua onggok kotoran di sini!” seru salah satu manusia dengan tampang mengejek. Namun Zchuib dan ZeZe takkan tersinggung, tentu saja. Kotoran, tahi dan berbagai macam istilah menjijikkan ada dalam percakapan mereka sehari-hari.
“Kurasa mahluk bau ini tak takut padamu, Michael!” ujar manusia yang lain tertawa.
“Enak saja! Tentu mereka ketakutan, Rode!” ujar manusia pertama, Si Michael. “Aku yakin mereka terkencing-kencing saking ngerinya.”
“bagaimana bisa terkencing-kencing kalau tak punya kemaluan?” jerit salah satu manusia itu dan tertawa histeris. Yang lain ikut tertawa.
‘Mahluk itu mendelikmu! Dan jelas sekali mereka tak bersembunyi di bawah meja seperti monster yang lain,” kata Rode.
“Ah sudahlah! Ini sangat membosankan, kita ledakkan saja kepala mereka sekarang!” kata manusia ketiga—yang takkan pernah kita ketahui namanya sampai cerita ini berakhir.
Zchuib tampak sangat geram, tapi ia tengah memikirkan sesuatu. Ia sudah merencanakan sesuatu. Ia sedang menunggu waktu yang tepat untuk melakukan sesuatu itu.
Saat para manusia meraih pistol dari saku tuxedo-nya, Zchuib membuka mulutnya lebar-lebar dan memuntahkan sesuatu yang tampak seperti tentakel-tentakel panjang yang sangat lengket. Ketiga manusia itu melonjak kaget, namun tak ada yang bisa mereka lakukan. Tentakel-tentakel itu menyambar kepala, tubuh dan tangan mereka secepat kilat. Beberapa menit para manusia meronta-ronta berusaha membebaskan diri. Pada akhirnya tubuh mereka merosot ke lantai tak bernyawa lagi.
Semua monster muncul dari balik meja tempat mereka bersembunyi, semuanya molongo ngeri saat tentakel-tentakel Zchuib tertarik kembali ke dalam mulutnya. Hanya lima detik saja kesunyian yang menakutkan itu menggerogoti ruangan, sebelum semua monster kocar-kacir meninggalkan bar secepatnya. Satu monster begitu paniknya sampai lupa ada kaca pembatas antara ruangan dan jalanan, monster itu pun membenturkan kepalanya di kaca dan jatuh pingsan.
“Kalian tak usah khawatir, kawan-kawan!” jerit Zchuib. ZeZe sementara itu gemetar hebat. “Tak ada satupun dari para manusia ini yang memencet tombol di gelangnya. Kita hanya perlu menyingkirkan mayat-mayat ini sekarang, dan semuanya akan baik-baik saja.”
Tak ada satupun monster yang mendengarkan Zchuib, mereka semua melesat kabur dan menghilang dalam sekejap.
Lama sekali Zchuib dan ZeZe bertahan dalam ruangan, keduanya memandangi mayat-mayat manusia yang bergelimpangan di lantai.
Lima ratus kilometer dari tempat itu seorang manusia yang bertugas di menara pengawas sedang menyaksikan ratusan monitor di atas kepalanya. Dan ia mendelik melihat adegan di salah satu monitor.
Sungguh malang, Zchuib dan ZeZe tak pernah tahu, selain membuat senjata yang meledak-ledak di ujungnya, para manusia juga menciptakan mesin dan benda-benda aneh lainnya seperti kamera pengintai, bom dan roket.
“Ada keributan di “Monster’s Bar” dekat daerah rawa-rawa! Tiga manusia menjadi korban. Apa yang harus kita lakukan, kapten?” ujar manusia itu.
“Ah gampang, ledakkan saja tempat itu!” kata si kapten santai.
Dan berakhirlah riwayat dua monster bersaudara Zchuib dan ZeZe.
*
P.S. Peristiwa ini menjadi berita mencengangkan di kalangan para monster dan menyebar dari mulut ke mulut. Perjuangan Zchuib dan ZeZe pun menginspirasi rakyat negeri monster untuk melakukan perlawanan. Lima ratus tahun perang sipil membawa negeri itu bebas dari kontaminasi manusia dan para monster berakhir hidup aman, tentram, bahagia dan sejahtera selamanya.
***
©I.B.G. Wiraga
Follow me @ibgwiraga
Baca komentar-komentar untuk cerita ini di Kemudian.com