Leusian, 167 juta tahun cahaya dari planet Biru
Aku duduk di atas batang kayu pohon nardit dengan ujung kaki menyentuh air. Harum semerbak bunga-bunganya memanjakan hidungku. Aku terus menunduk, memandang garis air di bawahku yang memanjang tak berujung. Garis itu terisi penuh oleh air dingin yang mengalir tenang, bening dan murni. Kau masih bersamaku, Soria.
‘Ingatlah baik-baik, engkau bisa meletakkanku di tepi air sungai yang bergerak menuju samudera, maka saat itu aku akan benar-benar pergi. Namun jika cinta dalam hatimu tak padam, kita akan bersua tak lama lagi.’
Batu safir biru terkepit di jemariku sebelum kurelakan lepas dan dipeluk air. Tubuhmu memancar, berpusar. Cahaya birumu bergetar dan menyebar.
Kini, gundahku hilang lenyap saat langit timur menjingga oleh matahari Leusian yang menggeliat—menghangatkan ubun-ubunku. Kau membuat sungai merekah biru sementara riaknya memantulkan cahaya timur yang kuning menyilaukan. Pantulan itu menari-nari, menerpa pohon kayu nardit, tanaman perdu yang terselimut embun dan sekujur tubuh ini. Aku ingin melompat ke bawah sana, segera setelah kelompok awan di langit menyebarkan rintik-rintik air.
Kami di sini menyebutnya Hujan Raja. Tak ada yang tahu pasti kenapa, mungkin sang raja langit ingin menyejukkan planet Leusian sedikit saja, meski matahari tak terhalang sinarnya. Hujan ini terlalu lembut dan istimewa, untuk para kekasih, dan untuk dirimu, Soria—yang berdiri di sudut kenanganku.
Aku bangkit, menarik nafas dengan tangan menempel di atas lututku. Hati-hati, dengan angin berbisik lembut, aku mencondongkan badan ke depan dan meluncur seperti ikan mears yang bersemangat. Air bergejolak, dingin, menerjang tubuhku. Namun hati ini telah begitu hangat, hangat oleh bayangan wajahmu, oleh rindu.
Kedua lenganku membuncah tirai air, kakiku menggelepar, tubuhku meluncur lepas sampai ujung jemariku menyentuh dasar sungai berbatu. Kemudian aku melesak ke atas karena tak kuat lagi—sisa udara dalam paru-paruku menipis.
Aku tak pernah mencapai permukaan itu karena tanganmu halusmu pun menjulur, aku segera mengenali cincin yang melingkari jarimu, oh Soria. Aku meraihnya dan mendadak paru-paru ini bisa bernafas lagi.
Air biru dan gemerlap pantulan cahaya menyebar di sekelilingku. Aku melesat ke angkasa raya dengan kau menuntunku. Kau menoleh dan tersenyum, kau bisa muncul secepat itu, seakan aku tidak pernah menunggumu.
Kami melesat menuju biru tak terbatas, terang memukau, menerebos gulungan awan tipis, dan Rujan Raja telah berhenti karena kau sanggup menghentikannya dalam kerlingan mata.
Kami melangkah ringan. Angin meniup kau dan aku, seperti siulan yang manis. Tanganmu masih menggenggamku, erat namun lembut. Kau mengajak raga ini terus mengarungi langit, ke tempat yang jauh sekali, sangat indah dan menawan.
Ah, kumohon bawalah hatiku ini bersamamu.
Aku ingin kebahagian ini bertahan selamanya, namun kau akan segera pergi. Air mata ini pun tumpah, ini terlalu pedih untukku, sayang.
*
Kau duduk di depanku seperti bunga mawar yang sedang merekah. Kau sangat berharga, aku takkan berani mengusikmu.
“Hey!” kau mengejutkanku. “Jangan menatapku seperti itu, Dean!”
Maaf, kau telah membuatku meleleh, bagaimana mungkin aku tahan untuk tidak menatapmu.
“Mau pesan apa?”
Memandangmu sudah membuatku kenyang dan nyaman sekali.
“Apa saja deh,” kataku pasrah, tak ada yg lebih nikmat dari senyuman atau kerlingan matamu itu.
“Aku akan memesankan salad dengan banyak potongan selada,” katamu santai.
Aku tidak suka selada, kau tahu benar. Dari semua tanaman yang bisa di makan, selada adalah sayuran paling memuakkan yang pernah tumbuh di muka bumi, seharusnya para petani membiarkannya punah dulu sekali.
Kau mulai makan potongan sayur mentah di piringmu itu, lalu menenggak jus mangga yang ampasnya mulai mengendap di dasar gelas. Aku masih mencuri pandangan padamu, meski lidah ini terbakar oleh selada yang kau pesankan untukku. Aku tak berani untuk tidak menyuapnya, kau akan berceloteh mengenai anak-anak penderita busung lapar di luar sana kalau aku berani sedikit saja menelantarkannya.
“Apa kau menghukumku dengan ini, Soria?”
“Kau selalu menciptakan nama-nama aneh untukku, Dean. Terimakasih, nah silahkan nikmati makan siangmu,” katamu dengan suara merdu, menghangatkan hatiku.
Aku menggeleng.
“Kau tak semestinya memilih-milih makanan, kau bukan anak kecil lagi, Dean.”
Aku hampir tak tahan, selada ini terasa membakar lidah dan tenggorokanku. Bisakah aku membiarkan benda-benda ini di atas piring dan para pelayan menggantinya dengan makanan lain yang lebih masuk akal?
“Kau telah berjanji,” katamu, memandangku lagi dengan tatapan yang pastinya sanggup melebur tubuhku seperti timah—selada mengerikan itu segera dan terpaksa menjadi sangat nikmat.
*
Kau masih di sana? Kumohon jangan lepaskan genggamanmu! Aku bisa terhempas dan jatuh. Aku tak yakin bisa mengarungi langit tanpamu.
“Inilah saat terakhir,” katamu tersenyum, gaun meleiseah yang kau kenakan bergetar. “Kau akan baik-baik saja, Parda.”
Aku menggeleng seperti anak kecil, memohon dengan air mata yang mengalir di pipiku, dan kau pun pergi saat kurasakan lagi dingin menggigit di sekeliling tubuh ini.
*
Kami berangkat meninggalkan restoran dan berjalan di trotoar menuju rumah mungil kami di sudut kota. Rumah cinta yang kami bangun bersama-sama.
“Soria,” kataku. “Aku mencintaimu, kau tahu itu, kan?”
“Namaku Elena,” kau bilang, melangkah ringan beberapa meter di depanku.
“Kau tetap Soriaku.”
Matahari siang bersinar terik, namun hujan kecil meluncur dari langit.
“Hujan Raja,” kataku tiba-tiba.
“Pernikahan Rubah,” kau bergumam dalam senyuman. Kau berbalik dan menghadapku. Hujan lembut ini membasahi rambutmu, pipimu, pundakmu.
Dalam cahaya langit dan rintik air ini, aku bisa melihatmu bercahaya, aura batu safir biru. Ya, kau adalah batu safirku yang berharga, Soria.
***
©I.B.G. Wiraga
Follow me @ibgwiraga
Baca komentar-komentar untuk Cerpen ini di Kemudian.com
Wow. Tidak bisa berhenti membaca cerpen-cerpen disini. Bagus sekali, Bli 🙂