Tiga ekor kodok sehat dengan pipi merona merah sedang bersantai selonjoran di pinggir kolam. Mereka adalah kodok-kodok yang luar biasa beruntung, kalian pasti tahu kenapa—ada banyak sekali saudara-saudara, kawan, bekas tetangga, buyut, kerabat atau sepupu jauh mereka sedang dibedah dan dikuliti di luarsana.
Mereka adalah sahabat karib, masing-masing bernama Rodi, Joni dan Sam. Rodi dan Joni bersaudara beda ayah (ibu mereka punya banyak sekali suami sehingga tak ada yang tahu persis yang mana ayah untuk anak-anaknya). Sementara Sam dulunya tinggal di rawa-rawa di selatan Inggris sebelum angin topan atlantik mengangkatnya tinggi-tinggi ke atmosfir dan melontarkannya ke Asia.
“Kalian lihatlah ke langit!” seru Rodi, dialah kodok yang paling gemuk dan paling berotot di antara ketiganya, di depan mereka tersedia seloyang besar lalat dan nyamuk goreng balado. Joni menjulurkan lidahnya dan menyambar seekor lalat yang kaki-kakinya mencuat kaku ke udara.
“What in the world I must look at the sky!” protes Sam, meski dia sudah belajar bahasa Indonesia selama dua tahun dari para sahabatnya, dia masih sangat bangga menjadi warga negara Inggris dan sedang mencari-cari cara untuk kembali ke negerinya.
“Adaawan berbentuk donat!” seru Rodi berbinar-binar. “Kalian pasti terpesona.”
“Itu tidak mungkin!” koak Joni, lalu ia mendongak ke langit, matanya melebar. “Tidak pernah ada awan berbentuk donat sebelumnya. Awan itu bentuknya selalu tidak karuan. Tapi yang satu ini merupakan keajaiban alam.”
“Menakjubkan!” kata Rodi.
“Fantastic! Terrifically marvelous,” gumam Sam, yang akhirnya mendongak.
“Bentuknya mulai berubah, wahai saudaraku!” jerit Joni beberapa saat kemudian. “Menurutmu kenapa awan donat sempurna tadi berubah bentuk? Sekarang mulai tak begitu seperti donat.”
“Itu karena ada raksasa yang memakannya,” ujar Rodi yakin. “Kita tak bisa melihat raksasa yang kumaksud, kata ibu, raksasa yang tak nampak ini memakan awan-awan dan memuntahkannya kembali menjadi hujan dan petir.”
“Oh that’s full of nonsense!” kata Sam menggeleng. “Itu karena angin yang membuatnya berubah bentuk, it always be that way. Angin di langit sangat kencang, lebih kencang dari apa yang kalian bayangkan. You knew exactly what the hell happened with me, didn’t you? Angin serupa membuatku melayang-layang di stratosfer!”
“Aku heran kenapa kau tidak mati saja saat itu,” kata Rodi, “kau mulai meracau lagi!”
“Otaknya tidak beres,” sahut Joni, mendukung saudaranya.
“Whatever!” gumam Sam kalem.
Kalian pasti berpikir kenapa kodok-kodok yang terlalu sejahtera memperdebatkan hal-hal yang tidak penting menjadi sangat penting.
“Dan lihat benda-benda apa itu?” teriak Joni sekarang, salah satu jari tangannya yang berujung bundar menunjuk ke atas.
“What is it now?” ujar Sam bosan. “I don’t waste my time for another doughnut-shape-cloud, for heaven sake.”
“Ini jauh di bawah langit,” kata Joni, “ada tiga benda melayang-layang di atas pepohonan. Itu di sebelahsana!”
Sam dan Rodi mengangkat kepala dan melihat ke arah telunjuk Joni. Memang benar ada sesuatu disana. Tiga benda bulat seukuran bola basket berwarna merah, kuning dan biru mengambang di atas pepohonan.
“Sangat mencurigakan. Itu pasti pesawat mata-mata,” kata Joni yakin, “tempat ini seperti surga yang menjadi incaran banyak hewan.”
“Itu cuma balon hidrogen, demi Tuhan,” seru Sam tak percaya.
“Apa yang dilakukan balon-balon itu di atassana?” tanya Rodi.
“Iya betul, kau dulu bercerita mengenai gas yang mengangkat benda-benda ke udara,” timpal Joni.
“Balon-balon itu menyangkut, tentu saja,” kata Sam tak sabar.
“Kenapa menyangkut?”
“Who knows?” teriak Sam frustasi.
“Dia omong besar,” bisik Joni pada Rodi. “Selalu begitu.”
Berikutnya dua ekor kodok hijau kurus melompat di depan mereka. Keduanya tampak sangat panik.
“Hey, kalian cecunguk tidak tahu diri!” teriak Rodi, kedua kodok itu langsung berhenti dengan nafas ngos-ngosan. “Apa tidak cukup kolam kalian sendiri? Apa yang kalian rencanakan pada tempat kami!”
“Kalian semua harus kabur secepatnya!” teriak salah satu pendatang itu, mukanya pucat ngeri seolahlimaekor ular kelaparan sedang memburunya. “Stephen keluar dari kandangnya dan meneror semua penduduk.”
(Stephen adalah ular boa yang dipelihara seorang dokter gigi yang tinggal beberapa blok dari tempat itu.)
“Jangan mengada-ada!” kata Rodi tak percaya. “Ular bodoh itu tidak akan pernah keluar kandang! Ia mendekam di dalamsanahampir seumur hidupnya.”
“Stephen menelan Poni bulat-bulat!” teriak katak hijau yang lagi satu. “Kami melihatnya sendiri.”
(Poni adalah seekor anjing pudel peliharaan si dokter gigi yang sama.)
“Jangan percaya pada mereka, mahluk-mahluk dekil kerempeng!” ujar Joni. “Ini tipu muslihat mereka agar bisa menguasai tempat ini.”
“Terserah kalian kalau tak percaya!” kata kodok hijau kurus itu, lalu mengajak kawannya melesat kabur.
“Bagaimana menurutmu, Sam?” Tanya Rodi.
“Mungkin saja mereka benar,” kata kodok itu santai.
“Kenapa kau malah mendukung mereka? Kau ini sahabat kami atau bukan, sebetulnya?” ujar Joni tak percaya.
Dan semakin banyak hewan-hewan berhamburan dan berlari ke arah dua kodok hijau tadi. Sekeluarga besar tupai (dengan kakek, nenek, ayah, ibu, paman, anak, cucu dan cicit) berevakuasi dengan kepanikan luar biasa. Dua keluarga burung pipit membawa serta sarangnya—berikut telur-telur di dalamnya—terbang ke arah timur. Seekor induk ayam berteriak-teriak pada kelimabelas anaknya untuk berlari secepat mereka bisa. Dan masih banyak lagi hewan-hewan lain.
“Adaapa?” teriak Rodi, kedua kawannya ikut menyaksikan kegemparan ini.
“STEPHEN DATANG!” seekor kucing belang menjerit. Mahluk itu melompat ke atap untuk menyelamatkan diri bersama seluruh kompeninya. Semua hewan yang sedang evakuasi menjerit-jerit ketakutan.
“Kurasa kodok-kodok itu benar,” kata Sam. “Kita harus pergi!”
Beberapa detik kemudian terlihat Stephen meluncur di atas perutnya—muncul dari semak-semak dengan lidah menjulur-julur mengerikan. Rodi, Joni dan Sam melihatnya dan lari terbirit-birit.
Setelah beberapa puluh meter melompat-lompat, mereka pun kelelahan dan berhenti di bawah pohon besar. “Kita harus bersembunyi!” ujar Joni, keringatnya bercucuran.
“Di mana kita harus bersembunyi?” sahut Rodi, jantungnya berdegup kencang.
Sam sedang mendongak ke atas pohon, dan mendapat ide.
“Kita bersembunyi di atassana!” katanya.
“Tidak!” teriak Joni. “Aku tak yakin itu akan berhasil.”
“Kita katak pohon, tentu saja bisa memanjat!” kata Sam tak sabar.
“Kau yang katak pohon, kami kodok,” protes Rodi.
“Come on! Bukankah kalian sudah kuajari memanjat beberapa minggu yang lalu!” kata Sam, mulai melompat dan menempel di kulit pohon. Ia pun mulai merangkak naik.
Joni dan Rodi—pasrah—ikut memanjat dengan susah payah.
Sam melihat ke bawah beberapa menit kemudian ketika menemukan Stephen sudah sampai di bawah pohon itu dengan kepala mendongak, lidahnya menjulur-julur lapar, matanya yang tak berkedip mengamati penuh minat.
“He saw us, Oh my goodness, We must hurry!”
Mereka memanjat secepatnya dan sampai persis di puncak pohon.
“Oh tidak, dia ikut memanjat!” jerit Joni, nyaris menangis saking ngerinya. Ketiga kodokmalangitu memandang ke bawah dan melihat Stephen meliuk-liukan badannya dan naik dengan mudah.
“Ini ide konyolmu, Sam!” ujar Rodi. “Tentu saja ular boa bisa memanjat pohon. Kalau kita lari saja tadi, kita mungkin selamat. Sekarang kita terjebak di atas sini!”
“Sekarang apa yang akan kita lakukan?” tanya Joni gemetar.
“Lihat!” seru Sam, menunjuk ke arah tiga balon yang talinya terikat di ranting. “Kita akan terbang dengan itu.”
“Kau sudah gila!” teriak Joni.
“Tak ada waktu lagi,” kata Sam. “Itulah satu-satunya jalan.”
Stephen hanya tiga meter saja di bawah mereka sekarang.
“Bantu aku melepaskan ini!” kata Sam, meraih tali-tali yang mengikat balon. “Lalu ikatkan talinya ke badan kalian! Kita harus tetap bersama-sama, berpegangan, jangan sampai terlepas!”
Joni dan Rodi melakukan apa yang diperintahkan Sam.
Kalau mereka terlambatlimadetik saja sebelum melompat ke udara, Stephen pasti berhasil melahap satu atau dua kodok sekaligus.
“Horray!” seru Sam lega, bergelayut di udara bersama kawan-kawannya. Rodi dan Joni berpelukan erat dengan mata terpejam, keduanya gemetar hebat. “Stephen yang malang akan kelaparan hari ini. Bye Steve!”
Ular itu mendesis sebal di atas pohon, memandang mangsa-mangsanya yang terbang ganjil di udara, lalu ia pun meluncur ke bawah untuk menemukan hewan yang lain.
Ketiga kodok itu melayang-layang tinggi di udara, terus semakin tinggi ke langit sampai rumah-rumah dan pohon terlihat sangat mini di bawah mereka. Dan mereka mulai cemas lagi.
“Kemana balon-balon ini akan membawa kita?” Tanya Joni. Rodi memandang ke bawah, dan perutnya mendadak mual.
“Tak ada yang tahu,” sahut Sam tak membantu. “Berdoalah, mungkin angin akan membawa kita ke Inggris, ke rawa-rawaku yang tenang dan damai.”
Rodi dan Joni memukulinya dengan membabi buta. “Ternyata kau merencanakan ini dari awal, dasar katak pohon pembawa sial!” seru Joni.
Lalu mendadak saja angin yang sangat kencang berhembus dan membawa mereka terbang semakin tinggi. Ketiga kodok itu menjerit-jerit sampai serak. Angin berhembus terus, mereka berputar-putar di udara, menembus awan-awan sementara suhu dingin menggigit tulang.
*
Tak ada yang tahu berapa lamanya mereka terombang-ombing di atmosfir, melewati ratusan badai hujan dan petir, namun mereka selamat dan mendapati diri terbaring di daratan berpasir. Rodi sadar pertama kali, badannya masih terikat dengan Sam dan Joni terbaring kaku di sampingnya. Ia pun membangunkan mereka.
“Di mana kita?’ Tanya Rodi, memandang berkeliling. “Oh kepalaku pusing sekali.”
“Apa kita di Inggris?” gumam Joni lemah
Tepat saat itulimaekor katak langsing berjalan mendekati mereka dengan rok jerami berjumbai-jumbai dan kalung bunga di kepala dan leher. Katak-katak itu berbaris dengan formasi sedemikian rupa dan mulai menari-nari lemah gemulai di hadapan Rodi, Joni dan Sam.
Satu katak gemuk dengan kemeja kembang-kembang muncul secara mengejutkan di hadapan mereka dengan mikropon di tangan. Ia berputar pelan dan berseru, “ALOHA!”
“I think we’re in Hawaii,” gumam Sam merana.
***
©I.B.G. Wiraga
Follow me on Twitter @ibgwiraga
Baca komentar-komentar untuk cerita ini di Kemudian.com